Sunday, January 25, 2009

Sense of Urgency

Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah saya bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”

Ketika pada tahun 1989 Stephen R Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 Habits, yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen R. Covey mengingatkan bahwa kita sering kali hanya berkonsentrasi pada hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya: budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting’ menjadi sangat populer di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting …” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan. Mengutamaka hal yang ‘penting’ tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan secara berkala, melakukan rapat regular dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja?

“Sense of Urgency” Tidak sama dengan “menghadapi ‘urgency’”

Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan Oktober” atau “Ini masih bulan Oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’, menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang disingkirkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di abu-abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.

Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah selogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisai tidak bosan-bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar.

Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.

‘4-A’ Sense of Urgency
Seoran salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata, “Nggak ada matinya ibu ini …”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman, “Succes motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achive-Asses-Activate dan Accelerate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievemet) yang bila tercapai, segera dievaluasi (asses), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untukmengoptimalkan pencapaian hasil.

Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan, merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh energi. Begitu kita berhasil, atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun meng-“asses” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency” hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang, bahkan bergoyang.

Jadilah “Person in Motion”
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli mengatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsive, misalnya dengan segera menjawab telepon, merespons email, voice mail, blackberry, SMS, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alas an menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.

Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya, bergeraklah, “Do it now!” (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas, 27 Sept. 2008

Cara Jitu Atasi Stres di Kantor


Rutinitas yang serba sibuk di kantor tentunya dapat membuat pikiran anda menjadi stress. Apalagi ditambah dengan tekanan dari berbagai pihak yang dapat ikut menambah tingkat stress anda. Hati-hati, jangan sampai anda menyalurkan stress pada hal-hal yang negative. Untuk mengatasi stress yang semakin membuncah, simaklah kiat-kita berikut ini.

Pertama, manfaatkan waktu istirahat makan siang. Setelah setengah hari bekerja, tentu anda merasa suntuk dan lapar. Tanpa disadari, rasa lapar dapat memicu tingkat seseorang. Pulihkan kondisi anda pada jam istirahat, sembari menyegarkan pikiran dengan berkumpul bersama rekan atau sahabat anda di kantor. Bicarakan hal-hal yang ringan dan dengarkanlah cerita-cerita humor dari mereka. Bersantai sejenak seperti ini terbukti ampuh untuk mengembalikan kesegaran pikiran anda. Jangan lupa, sebaiknya anda tidak membahas masalah pekerjaan ketika makan siang, agar stress anda tidak muncul lagi.

Kedua, lakukan peregangan tubuh. Sesibuk-sibuknya anda jangan biarkan tubuh kelelahan akibat terlalu banyak duduk dan berpikir. Saat merasa lelah, lakukan peregangan tubuh dengan melakukan stretching ringan di tempat. Caranya, regangkan kedua tangan atau menggerakkan kepala anda ke kiri dan kanan. Lalu, kira-kira setiap dua jam sekali, keluarlah sejenak dari ruangan untuk menghirup udara yang lebih segar.
Ketiga, bagi banyak orang, musik terbukti ampuh untuk megatasi stress. Jika anda termasuk salah satu penikmat musik, dengarkanlah musik dari computer anda. Pilihlah musik yang sesuai dengan selera anda. Sambil bekerja, anda pun dapat sambil bersenandung, selama suara anda tidak mengganggu rekan kerja lain.

Keempat, manfaatkan waktu libur untuk melenyapkan segala beban pekerjaan di kantor. Berolahraga, memasak, berkebun, ataupun tidur merupakan beberapa cara untuk mengisi waktu libur anda. Jangan gunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Nikmatilah waktu libur anda sebelum menyambut kembali hari-hari sibuk di kantor.

Satu lagi cara jitu menghindari stress, yaitu selalu berpikir positif. Terkadang rasa stress itu dapat berasal dari pikiran negative anda sendiri. Cobalah berpikir segala sesuatu dengan positif agar anda terhindar dari stress. lagi pula, jika anda bisa menghindari stress, hidup anda akan terasa lebih indah dan damai. (INO/ Klasika/ Kompas. 26 Okt. 2008)

Thursday, January 22, 2009

Kita Memang Beda

Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan: “kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan value adding-nya, sebagai manusia utuh. Itulah sebabnya kita perlu berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya: Unity in diversity.

Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita “buang muka” bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan maneuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat sering kita menemui jalan buntu sekadar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih-alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan.

Sama tapi beda
Sikap jijik terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang. Kesamaan latarbelakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering membuat lingkungan kita nyaman, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa menggerakkan satu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaannya, kemenonjolannya, dan keunikannyalah yang kemudian malah bisa mulai memberi nilai tambah kepada tim.

Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi yang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih mendengar, sementara yang lain lebih dominant perasaannya dalam mendekat sutau gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.

Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru dengan yang lain, akibat tidak mampu melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang sebetulnya sama.

Mulai dengan memotret diri sendiri
Ilmu emotional intelligence mengajarkan pada kita untuk meningkatkan self awareness kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai situasi social atau mampu mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari eksplorasi mental yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah seperti “test the water”, feel the breeze”, yang kurang lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar kita.

Cara yang paling mudah untuk “memotret diri” ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini sangat manusiawi karena manusia dibekali proses mental untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya, perlu juga melakukan judging, comparing, interpreting, anticipating, rehearsing, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam menghadapi tantangan.

Bayangkan kalau kita semua sama
Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latarbelakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.
Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali mengetes lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12.000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan 33 (44) partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan, keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. Merdeka! (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas, 16 Agt. 2008).

Saturday, January 17, 2009

BEBASKAN DIRI DARI KEBIASAAN LAMA



Menggonta-ganti merek ponsel menyebabkan saya sering salah ketik saat menulis SMS. Posisi tombol-tombol yang berbeda antara satu produsen dengan produsen lain, menyebabkan kebiasaan menekan tombol tertentu terbawa ketika mengetik di ponsel yang baru. Anak saya mengkritik, “SMSmu sering aneh. Kenapa sih tidak lebih berhati-hati saat mengetiknya?” Tentu saja kita bisa lebih berhati-hati dan bekerja lebih perlahan. Namun, seringkali saat terburu-buru, secara tidak sadar kita kerap membawa kebiasaan lama.

Sadar ataupun tidak, salah satu sebab kita tidak lincah berubah, jalan di tempat atau bahkan mundur, terjadi karena kita tidak belajar untuk menghapus pola atau kebiasaan di masa lalu. Kita hanya bisa bergerak ke depan dan membuat terobosan bila kita mampu membebaskan diri dari hal-hal yang kekinian, bahkan masa lalu yang menghambat dan menggandoli kita untuk berubah.

Mengapa orang sulit membuang kebiasaan lama? Dan juga, mengapa orang sering berfokus pada kegiatan belajar hal baru, tanpa ‘concern’ pada menghilangkan kebiasaan lama terlebih dahulu? Ternyata, bila kita pelajari, tidak bisanya kita berubah, atau bahkan sikap pesimis kita untuk bergerak dan mengadakan perubahan banyak dilatarbelakangi oleh cerita sukses masa lampau, yang sulit kita hilangkan. Kalimat seperti, “Saya memang dari dulu begini”, “biasanya ini yang saya lakukan…”, “dari pengalaman saya…” Saat saya memberi saran pada seorang teman untuk mengurangi biaya hidup sebesar 30 persen, sewaktu ia mengeluh tentang situasi krisis, serta-merta ia menjawab, “Mana mungkin..? Sudah bertahun-tahun…” Bila banyak orang memegang paradigma ini, bisa jadi kita akan mengalami keterpurukan lebih jauh.

Tahan Respons, Aktifkan Berpikir Kritis

Konon, mengajari para pilot juga dimulai dari proses “unleasing”. Proses emosi, asumsi, dan kesalahan ekspekstansi bisa membatasi presisi dalam mengukur jarak. Calon pilot harus belajar untuk menahan respons yang datang dan berupaya betul memikirkannya sejenak, sebelum bereaksi. Seorang salesman pun harus ‘menghapus’ pengalaman penolakan-penolakan yang pernah dia alami sejak kecil, baru kemudian bisa menumbuhkan “killer instinct”-nya.

Dalam perusahaan, terutama yang sudah sukses mengimplementasi cara konvensional, kebiasaan para pimpinan menyepelekan, bahkan menahan para junior untuk berpendapat, rasanya sudah saatnya di-“unlean”. Persepsi bahwa senior lebih pintar karena lebih berpengalaman, bisa membutakan seluruh organisasi dari bad news yang ada. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya bila kita jalan terus, menghadapi tantangan, tanpa menyadari bahwa masih ada faham-faham yang usang, asumsi-asumsi dalam system nilai yang menahan kita untuk berubah. Hal inilah yang menyebabkan orang maju mundur untuk berinovasi, terutama bila menghadapi tekanan.

Manusia yang sehat sebenarnya bisa membekali dirinya dengan daya berpikir kritis, yang sudah disebut-sebut Socrates di zaman dahulu. Berpikir kritis antara lain mempertanyakan persepsi, asumsi, system nilai yang ada dalam system penalaran kita. Dalam menghadapi tekanan, kita perlu mengaktifkan daya berpikir kritis kita untuk memerangi praktik-praktik usang yang sudah kita terapkan selama bertahun-tahun. Saatnya kita mempertanyakan, apa masih mau meneruskan berhutang? Apakah masih meneruskan gaya hidup konsumerisme? Apakah kita akan meneruskan cara berkomunikasi yang lama? “Apa iya, tidak bisa diubah…?”

“The Reality Check”

Jangankan orang-orang pandai, pembantu rumah tangga saya pun mulai berubah pola membelinya. Pelanggan menjadi sangat selektif memilah-milah antara yang perlu dan tidak perlu, mana yang membuat mereka benar-benar happy dan mana yang sekadar mengikuti tren. Kita memang harus mengkalkulasikan kocek konsumen yang akan mengempis karena situasi krisis. Bila kita bisa menangkap kebutuhan tersebut, kita pun bisa menyusun langkah untuk menjadi pemenang kembali. Inilah reasoning utama mengapa cara lama yang membuat sukses sudah tidak bisa disebut-sebut lagi. Konstelasi pasar, organisasi, system penggajian akan berubah sesuai dengan situasi terkini (baca: krisis global). Jadi, kita perlu masuk ke dalam tuntutan baru dan menghapus kebiasaan lama. Tidak ada pilihan.

Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan kekuatan yang sudah kita bangun bertahun-tahun? Apakah kita buang begitu saja? Kekuatan seperti pengalaman sukses sebagai professional handal, tentunya bukanlah kekuatan yang tidak bisa digunakan lagi. Hanya saja, kekuatan tersebut harus disiapkan untuk menjawab situasi yang belum kita kenal, belum terbukti dan menantang kita untuk menemukan lahan-lahan baru. Karyawan lama yang kuat dan trampil harus bisa menghandel proses baru, membuat produk baru. Inilah tantangannya. Bahkan ada kompetensi yang perlu dibongkar dan diperbaharui. Misalnya, yang dahulu melakukan penjualan partai besar, sekarang masuk ke ritel bahkan menjajakan barang sendiri. Kita mesti bertindak, ber-mindset dan berparadigma ibarat pegawai baru yang membawa pemikiran dan persepsi yang segar.

“A Great Moment to Innovate”

Bertahannya manajemen perusahaan atau pemerintahan pada praktik-praktik lama, sering membuat kita yang di dalamnya merasa asing pada hal yang “tidak jelas”. Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam ketidakjelasan itulah ada fakta yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Sulitnya, inovasi yang kita temukan di dalam ketidakjelasan ini hanya bisa kita lakukan bila kita percaya bahwa kesempatan itu ada, dan terjun di dalamnya. Dalam situasi ini kita tidak bisa mereka-reka karena tidak ada teori yang sudah bisa membuktikan kesuksesannya. Di sinilah kita ditantang untuk kuat dan tetap komit pada semangat mengeksplorasi.

Dengan semangat optimistis kita sebenarnya bisa melihat bahwa budget yang mengerut dan berkurangnya angka penjualan adalah momentum untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif. Tentunya hal ini hanya terjadi pada orang-orang yang mempunyai keyakinan, ego kuat serta visi yang jelas. Sekaranglah waktunya meneguhkan diri untuk membuat pendekatan baru, menemukan pangsa pasar baru, membuat produk baru serta terjun dan menggunakan bahasa pelanggan baru. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ klasika/ Kompas/20/12/2008)

Friday, January 16, 2009

MENJADI MANUSIA BEBAS

MENJADI MANUSIA BEBAS

Krisi dahsyat menghantam Bumi, dan konon, puncaknya akan terjadi di sekitar pertengahan tahun yang baru ini. Disadari atau tidak, kekhawatiran dan ketakutan melanda umat manusia. Ketakutan kehilangan pekerjaan, nasib usaha, yang semuanya bermuara pada ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Kegalauan melanda jiwa-jiwa yang tanpa disadari mengganggu produktivitas kerja dan fungsi hidup manusia.

Namun, krisis itu tidak bisa dihadapi dan dijalani hanya dengan rasa takut dan khawatir. Itu adalah sikap mental pecundang (loser mentality)… Krisis dahsyat itu hanya bisa dihadapi dan ditakhlukkan dengan sikap sebaliknya (winner mentality).

ada dua esensi sikap mental pemenang yang diperlukan: Pertama, menjadi “penyapu jalan terbaik”! Martin Luther King Jr pernah mengatakan, …Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Bethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya. Ia seharusnya menyapu sedemikian baiknya sehingga segenap penghuni surga maupun Bumi berhenti sejenak untuk berkata: “Di sini telah hidup seorang penyapu jalan yang begitu hebat, yang melakukan pekerjaannya dengan demikian baik”.

Maka, profesi dan pekerjaan apa pun, yang dijalani sekarang, lebih dulu perlu diterima dengan rasa syukur. Masih banyak saudara lain yang kehilangan pekerjaan, belum bekerja, tak tahu harus berbuat apa. Krisis tak berhak mengganggu dan menggugat yang ada di tangan kita sekarang. Dari rasa syukur akan timbuk kesadaran baru bahwa apa yang masih ada itu adalah karunia, sekaligus amanah. Harus dijalankan sebaik-baiknya dan yang terbaik.

Itulah bentuk mental syukur terpenting dalam kondisi serba krisis dan menakutkan seperti sekarang. Menjalankan sebaik-baiknya apa yang ada di tangan adalah “ibadah” paling bernilai (bentuk rasa syukur paling konkret), yang bukan hanya berguna bagi kita, tetapi juga bagi manusia lain yang terkait dengan kita. Menjalankan segala sesuatunya dibarengi kekhawatiran dan ketakutan akan dahsyatnya krisis, apa adanya, seadanya (yang penting masih ada yang dikerjakan) sama sekali tak berguna bagi siapa pun dan hanya membuat penghuni surga dan Bumi mencibir serta menangis.

Manusia budak atau bebas


Kedua, menjadi “manusia bebas”! Esensi sikap mental pertama tersebut hanya bisa dibentuk melalui esensi kedua, yakni menjadi “manusia bebas”, seperti dimaksudkan Lao Tzu: “…Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang budak. Namun jika engkau mengerjakan lebih dari yang diharpkan, barulah engkau menjadi manusia bebas”.

Kalimat bijak itu sungguh menyiratkan esensi makna yang indah sekaligus dahsyat. Jika kita hanya bekerja dan menjalankan kewajiban sebatas yang diharapkan, di-standardkan, diminta, maka sesungguhnya kita masih dibatasi dan dikurung oleh batasan-batasan eksternal.


Misalnya, karyawan yang bekerja tentu mempunyai target-target atau KPI (Key Performance Indicator). Target atau KPI ini tentunya ditetapkan oleh pihak eksternal (manajemen, atasan atau perusahaan). Maka, karyawan yang bekerja hanya “sebatas” memenuhi target dan KPI-nya, secara hakiki, ia dibatasi dan dikendalikan oleh pihak eksternal. Itulah yang dimaksud “budak”. Apalagi jika ia bekerja kurang atau di bawah KPI-nya.


Bagaimana menjadi manusia bebas? Ya, dia seseorang (sesuai profesinya masing-masing), mau memberi dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan, lebih dari target dan KPI-nya. Artinya, ia telah berani, bersedia, dan mampu menetapkan sendiri batasan-batasan kerja dan hidupnya (tidak lagi oleh pihak eksternal). Karyawan “budak” hanya bekerja sebatas KPI-nya. Karyawan “bebas” bekerja melebihi KPI-nya tanpa diminta.

Sikap mental menjadi “manusia bebas” inilah yang sangat diperlukan di negeri ini. Makna kemerdekaan bukan hanya sekedar lepas dari para penjajah bangsa asing. Bukan jadi “bangsa budak”, melainkan bangsa pemenang yang mampu mengatasi krisis global sehebat apapun.


Sesaat lagi kita akan memilih para pemimpin bangsa di segenap dimensinya. Bangsa ini butuh para “manusia bebas” yang mampu menjadi “penyapu jalan terbaik” di bidangnya masing-masing. (Herry Tjahyono, Corporate Culture Theraphist & President The XO Way, Kompas/3/1/2009)

Wednesday, January 14, 2009

MENYELESAIKAN KONFLIK DI LINGKUNGAN KERJA

MENYELESAIKAN KONFLIK DI LINGKUNGAN KERJA


Ada banyak hal yang bisa memicu konflik di lingkungan kerja, mulai yang terkait dengan tugas dan pekerjaan sampai ke masalah pribadi. Keadaan ini tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan saat beraktivitas di kantor, dan bukan sesuatu yang mustahil kalau berbuntut pada menurunnya produktivitas.


Agar tidak semakin berlarut-larut dan malah merambat ke mana-mana, maka sudah sepatutnya kalau hal ini segera diselesaikan dengan beberapa pendekatan diantaranya:


  1. Mengajak orang yang bersangkutan (terlibat konflik) untuk bicara empat mata di tempat yang jauh dari keramaian. Dengan demikian anda dan lawan bicara bisa lebih bebas mengemukakan isi hati dan pikiran tanpa takut terganggu suasana sekitar.
  2. Saat berbicara, usahakan untuk tetap tenang dan jangan terbawa emosi. Ungkapkan isi hati dan pikiran dengan tenang dan sopan. Satu hal yang perlu diingat adalah mendasarkan semua ucapan berdasarkan fakta atau kenyataan, bukan atas dasar gossip atau asumsi pribadi. Jika tidak, bukannya menyelesaikan masalah, anda malah dapat memperuncing atau menambah masalah.
  3. Perhatikan pula ekspresi dan bahasa tubuh anda saat berbicara. Jangan biarkan, misalnya, anda tidak menatap lawan bicara atau menunjukkan mimik wajah cemberut. Bahasa tubuh yang tepat tentu akan mendukung niat baik anda untuk berdamai.
  4. Dengarkan dengan baik saat rekan anda berbicara dan jangan potong pembicaraan agar pesan yang hendak disampaikan bisa diterima dengan baik. Usahakan untuk berempati, sehingga anda tidak melihat masalah melulu dari sudut pandang anda.
  5. Setelah masing-masing mengungkapkan isi hati dan pikirannya, cobalah untuk memberi satu solusi yang sifatnya fleksibel dan terbuka sehingga jalan tengah atas masalah yang dihadapi bisa tercapai. Jangan lupa di sini anda juga dituntut untuk tenang.

Kalau masalah belum juga selesai, ada baiknya untuk berkonsultasi kepada atasan anda, tentunya dengan tidak menjelek-jelekkan rekan anda sendiri. Toh semua ini demi kebaikan anda sendiri. (ASP/Klasika/Kompas/6/11/2008).


Thursday, January 01, 2009

KUAT DALAM BADAI


Sebuah foto hitam putih, menampilkan perahu kecil berbendera merah putih mengarungi badai, yang ditampilkan saat mengawali presentasi seorang pakar ekonomi, membuat saya berpikir, “Kenapa tidak?” Perahu kecil pun bias bertahan, bahkan mencapai tujuannya, asalkan berjuang, cerdik dan melakukan langkah-langkah yang benar, sebelum, selama, dan sesudah badai terjadi.

Situasi tsunami di depan mata ini memang bisa membuat mental kita down dan bila tidak hati-hati membuat kita tidak berdaya. Riset membuktikan bahwa dalam keadaan terpuruk, banyak eksekutif yang tidak lagi berusaha membuka diri terhadap ide-ide baru pada saat berada dalam situasi stres. Situasi eksternal yang berubah begitu cepat, unpredictable, membuat tak sedikit orang merasa bahwa segala upaya sudah gagal dan tidak akan da upaya lain yang lebih mempan menanggulangi situasi. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya kegagalan tidak selalu harus berasal dari situasi eksternal yang buruk. Kita pun bisa gagal dalam situasi adem ayem, kalau tindakan, keputusan dan cara monitor kita yang salah. Sebaliknya, Grameen Bank tumbuh cemerlang atas prakarsa Prof. Yunus, di lingkungan yang tanpa hujan dan angin pun sudah sangat miskin dan papa.

Cek “Alarm” Diri Anda

Dalam pertemuan pada suatu divisi di sebuah bank, saya mengecek reaksi dari para karyawan terhadap situasi krisis, dengan menampilkan berita 12.600 karyawan yang terancam PHK. Sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah peluang bagi perusahaan lain yang membutuhkan. Namun, terasa bahwa mayoritas karyawan yang berada di divisi yang cukup masih bisa merasakan ‘comfort zone’ ini, masih adem ayem, belum betul-betul menangkap pesan krisis yang disampaikan oleh berbagai media.

Tentu saja, normalnya, tidak seorang pun dalam dunia bisnis maupun non bisnis yang bisa bersikap masa bodoh terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi perusahaan, negara bahkan dunia, saat ini. Kenyataannya, banyak eksekutif yang masih berharap akan datangnya kejutan, atau masih mengira-ngira apakah “mendung” benar-benar akan berubah menjadi “badai”. Sebaliknya, tak sedikit yang berharap bahwa awan yang sedang berkumpul akan berlalu begitu saja.

Seorang teman eksekutif bersungut-sungut ketika rapat memutuskan untuk melakukan brainstorming mendadak untuk memikirkan langkah-langkah pertahanan perusahaan, karena hasil raker sebulan yang lalu pun belum sempat ia presentasikan. Pada saat-saat beginilah setiap individu mestinya perlun mengecek sistem alarm di dalam dirinya. Jika alarm diri tidak bekerja, tidak membuatnya lebih waspada, tidak menjadikannya “berlari”, perlu dicek mengapa tidak bekerja? Bisa saja keadaan ini disebabkan karena kurangnya informasi, kurangnya bergaul, kurangnya kepekaan atau memang tidak inginnya kita menghadapi kenyataan.

Menyusun Kekuatan untuk “Survive”

Teman saya yang tinggal di Inggris mengatakan bahwa krisis ekonomi di negaranya bagaikan siklus. Ia sudah mengalami beberapa kali “ups and down” dan sudah melihatnya dengan cara antisipatif. Dalam keaadaan anjlok begini, tindakan utama yang bisa dilakukan adalah mengencangkan ikat pinggang dan menghentikan pengeluaran yang tidak perlu. Tindakan quick fix seperti meng-“cut” karyawan, mengurangi biaya R&D, menghentikan servis-servis tambahan yang tidak terlalu signifikan, dan berfokus pada ‘survival” jangka pendek memang sudah sering dan lumrah kita dengar dimana-mana. Tentunya ini adalah jalan yang paling bijaksana yang bisa dilakukan, bila perusahaan sudah mencapai titik nol dalam angka penjualan, atau titik minus dalam pertumbuhan laba. Kemungkinan terburuk seperti inilah, yang perlu kita waspadai, walaupun sebisa mungkin kita hindari.

Dalam masa sulit, perusahaan-perusahaan seperti Southwest Airlines, Harley Davidson dan FedEx pernah tidak mem-PHK karyawannya. Sebaliknya, karyawan diajak untuk menggali kekuatan mereka habis-habisan dan mengupayakan segala daya untuk membuat perusahaannya bertahan ketimbang sibuk mencari lowongan pekerjaan lain. Banyak perusahaan bahkan membentuk loyalitas dan kepercayaan karyawan pada situasi yang sulit. Tentunya sudah sangat basi dan ketinggalan kereta jika kita masih memegang mindset “bagaimana nanti saja ...” atau “kita bangun bila sudah ada kesempatan ...” Saatnyalah kita berpikir untuk “cross cutting” secara agresif, sambil tetap merapatkan barisan, menyusun serta meningkatkan profesionalisme. Dengan melakukannya sekaligus, sesungguhnya kita bisa menabung tenaga, spirit, kekuatan, kepandaian untuk menghadapi tantangan dan kesempatan baru dengan memanfaatkan sikap proaktif, kreatif dan inovatif.

Retooling dan restrukturasi tidak bisa dianggap sebagai ancaman, karena perubahan internal sudah harus bersifat sefleksibel mungkin. Lengkah seperti “everybody sells”, pembentukan kerja lintas fungsi, “gunting-copot” individu yang “in charge” tidak bisa lagi dilakukan secara berkala, tetapi harus terjadi setiap saat, karena kinerja pun perlu dimonitor setiap saat.

Belajar dan Menjadi Lebih Kuat dari Situasi Buruk

Dari sejarah yang ada, kita semua menyadari bahwa “badai pasti berlalu”. Tinggal kita jugalah yang menentukan bagaimana kita akan “bermain” di dalamnya. Apakah kita akan mengambil peran sebagai penonton? Sebagai korban? Atau justru aktif berpikir, berencana, belajar dan menjadi lebih kuat dari situasi buruk. Individu atau perusahaan yang cerdik tentunya akan merangkul teman senasib, karyawan, vendor, mitra bisnis, pelanggan, untuk bersama-sama merapatkan barisan dan berstrategi. Perencanaan yang cerdik bahkan membuktikan adanya pertumbuhan bisnis di seputar keterpurukan. “Contingency plan” yang kita kenal dengan istilah plan B, perlu dilengkapi dengan alternatif-alternatif lain, yaitu plan C, D, E dan seterusnya, tanpa meninggalkan fokus dan kekuatan perusahaan. Berada di situasi “bawah” dalam siklus perkembagnan ekonomi, kita bisa berkaca pada ‘mercu suar’, yang selalu berisiko diterjang badai, tetapi tetap melihat jauh ke cakrawala dan bahkan berkinerja terus memancarkan sinar alarm-nya. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/Kompas/06/12/2008)

Related Posts with Thumbnails