Sunday, January 25, 2009

Sense of Urgency

Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah saya bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”

Ketika pada tahun 1989 Stephen R Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 Habits, yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen R. Covey mengingatkan bahwa kita sering kali hanya berkonsentrasi pada hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya: budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting’ menjadi sangat populer di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting …” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan. Mengutamaka hal yang ‘penting’ tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan secara berkala, melakukan rapat regular dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja?

“Sense of Urgency” Tidak sama dengan “menghadapi ‘urgency’”

Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan Oktober” atau “Ini masih bulan Oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’, menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang disingkirkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di abu-abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.

Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah selogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisai tidak bosan-bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar.

Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.

‘4-A’ Sense of Urgency
Seoran salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata, “Nggak ada matinya ibu ini …”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman, “Succes motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achive-Asses-Activate dan Accelerate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievemet) yang bila tercapai, segera dievaluasi (asses), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untukmengoptimalkan pencapaian hasil.

Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan, merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh energi. Begitu kita berhasil, atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun meng-“asses” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency” hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang, bahkan bergoyang.

Jadilah “Person in Motion”
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli mengatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsive, misalnya dengan segera menjawab telepon, merespons email, voice mail, blackberry, SMS, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alas an menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.

Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya, bergeraklah, “Do it now!” (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas, 27 Sept. 2008

No comments:

Related Posts with Thumbnails