Thursday, March 26, 2009

ATUR WAKTU AGAR TUGAS LANCAR

Bagi pekerja kantor yang sibuk, waktu ibarat benda hidup yang selalu mengejar-ngejar anda. Seringkali tugas tidak terselesaikan secara maksimal karena diburu-buru waktu. Hal ini salah satunya disebabkan kurangnya kemampuan anda dalam mengatur waktu. Untuk mengantisipasinya, perhatikanlah kiat-kiat berikut ini.

Pertama, kerjakanlah tugas anda sesuai dengan prioritas. Jika tugas anda banyak, susunlah tugas tersebut sesuai dengan skala prioritas. Bisa dimulai dengan mengerjakan tugas yang tersulit hingga yang termudah atau sebaliknya, sebaiknya sesuai dengan cara anda bekerja. Janganlah lupa kerjakanlah tugas tersebut dengan irama pas, tidak terlalu lambat atau cepat.
Kedua, perkirakanlah berapa lama waktu yang anda perlukan untuk menyelesaikan tugas. Selain itu, aturlah waktu yang tepat untuk memulai tugas tersebut. Dengan kedua hal ini, anda akan bersikap realistis terhadap rencana dan tugas-tugas. Jangan lupa, anda juga perlu mempertimbangkan kemampuan anda dan tim dalam menyelesaikan tugas tersebut.
Ketiga, jangan terlalu terpaku pada lama waktu yang anda rencanakan untuk mengerjakan suatu tugas. Jika anda merencanakan untuk menyelesaikan tugas dalam waktu dua jam, misalnya jangan terpaku untuk menyelesaikannya dalam waktu tersebut. Akan jauh lebih baik jika anda berusaha menyelesaikannya dalam waktu yang lebih cepat. Dengan demikian anda dapat segera beralih ke tugas yang berikutnya.

Keempat, kerjakanlah tugas sesuai dengan disiplin diri yang baik. Kerjakanlah tugas sesuai dengan skala prioritasnya. Usahakan agar anda tidak tergoda untuk melakukan hal-hal yang kecil, seperti browsing internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan anda. Setelah tugas selesai dikerjakan, pastikan tidak ada bagian yang tercecer baru kemudian beri waktu bagi diri anda sendiri beristirahat sejenak untuk melonggarkan pikiran.Kelima, salah satu hal terpenting dalam mengatur waktu adalah dengan bersikap efisien. Hal ini sama dengan bersikap mudah dan berpikir praktis. Anda tak perlu menghabiskan waktu untuk berpikir rumit tentang bagaimana cara mengerjakan tugas. Intinya, jika suatu tugas dapat dibuat sederhana, mengapa harus dibuat sulit. Dengan bersikap efisien, tugas akan mudah diselesaikan dan anda akan mendapatkan lebih banyak waktu lagi untuk menyelesaikan tugas berikutnya. (INO/Kompas/13-11-2008).

Tuesday, March 10, 2009

Pengalaman Bukan Syarat Mutlak Melamar Pekerjaan

Saat baru lulus kuliah, sering kali para calon pelamar ini bingung akan menulis surat lamaran pekerjaan seperti apa, karena pada umumnya banyak perusahaan yang mensyaratkan pengalaman kerja. Mau tak mau, hal ini membuat sebagian calon pelamar merasa minder lantaran selama kuliah nyaris tak punya pengalaman kerja.

Sebenarnya sebelum melamar pekerjaan kita terlebih dahulu harus tahu apa yang diinginkan perusahaan. Umumnya perusahaan menginginkan calon karyawan yang bisa berkontribusi langsung. Buat yang baru lulus kuliah, jangan pernah putus asa karena pengalaman yang dimaksud bukan melulu pengalaman kerja di perusahaan lain, tetapi pengalaman yang berkaitan dengan bidang industri yang digeluti.


Contohnya, jika anda ingin berkontribusi dan bekerja pada perusahaan periklanan, pastikan anda memiliki kemampuan – syukur-syukur pernah menang lomba – menggambar, mengkreasikan iklan, atau bahkan menulis karena sebuah biro iklan pastinya memiliki kebutuhan yang tinggi akan desainer grafis atau copy writer sebagai bagiannya.


Oleh karena itu dalam melamar, perhatikan kualifikasi apa yang perusahaan tersebut inginkan. Lazimnya lagi, perusahaan mengharapkan oramg yang dapat belajar dan menyesuaikan diri dengan cepat agar bisa dikembangkan untuk kemudian berkontribusi secara maksimal.


Bahkan tidak sedikit lho, perusahaan yang lebih suka mencari sarjana fresh graduate ketimbang yang sudah berpengalaman agar bisa dididik sesuai dengan visi dan misi perusahaan yang bersangkutan. Pastinya mereka yang terpilih umumnya memiliki prestasi, aktivitas, dan kreativitas di atas rata-rata karena perusahaan mengharapkan kecerdasan dan kreativitas mereka akan berguna bagi perusahaan dan nantinya bisa berkontribusi secara maksimal.Oleh karena itu, saat kuliah jangan hanya terpaku pada buku teks. Tak ada salahnya jika anda sesekali membantu kegiatn kampus, mengikuti kegiatan ekstra kurikuler atau organisasi lainnya yang dapat mengasah kreativitas dan memberikan nilai tambah pada pengalaman hidup anda. AYA/ Kompas/21/12/2008.

Tuesday, March 03, 2009

KONTROL DIRI ADALAH SENJATA PERUBAHAN

Semua orang pasti setuju dengan “magic”-nya puasa di bulan Ramadhan (atau di masa Prapaskah pada umat Katolik, red.). Kekuatan niat yang begitu besar menjadikan kita yang tadinya tidak kuat menahan haus dan lapar di hari biasa, di bulan Ramadhan bisa melakukannya tanpa merasa berat. Bahkan, dengan puasa penyakit malah sembuh, badan terasa lebih ringan. Latihan kesabaran, kegigihan dan keuletan ini memang benar-benar memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk lebih banyak bertaqwa, lebih bisa mengelola diri sendiri dan tentunya “naik kelas” sebagai manusia. Suatu latihan yang sangat berharga untuk individu yang memang ingin mematangkan jiwa!

Tantangan kita, tentu saja, me-maintain kompetensi control diri, emosi dan pikiran ini seusai masa Ramadhan. Sayang sekali bila kita kembali “loss control”, sehingga upaya latihan kita selama Ramadhan tidak kelihatan impact-nya. Misalnya kita kehilangan control diri lagi dengan kembali memborong barang yang tidak perlu, boros energi, melanggar lampu lalu lintas, terlambat dating ke kantor, sehingga semangat untuk bersabar dan menjadi manusia yang gigih kembali ke titik nol lagi.

Seorang rekan yang naik bobot badannya 20 kg semasa hamil, menjamin bahwa berat badannya bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu 4 bulan. Ketika ditanya kunci kesuksesannya, ia menjawab santai: “Puasa”. Ia mengatakan bahwa dengan berpuasa senin kamis, ia mempunyai control diri terhadap pola makannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa selama ini ia makan berlebihan dan menciptakan mekanisme persepsi terhadap terhadap makahan yang beda. Akhirnya pola disiplin dan pola makannya berubah. Ini adalah contoh orang yang memanfaatkan latihan sebagai sarana peningkatan kualitas diri.

Kontrol Diri adalah Senjata Perubahan

Tidak seperti burung-burung yang bermigrasi secara otomatis saat pergantian musim, manusia, makhluk berakal budi paling super di muka bumi ini, memang tidak bisa mengandalkan instingnya lagi untuk berdisiplin. Manusia digerakkan oleh habit-nya. Manusia juga pengambil keputusan yang sangat berbasis emosi, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sehingga ia mudah sekali berubah atau melanggar rencananya sendiri. Itulah sebabnya orang bisa memanfaatkan emosi untuk berbisnis, misalnya dengan membuat tren, membentuk komunitas, merangsang konsumerisme dan tanpa sadar menghancurkan pertahanan control diri individu.

Untungnya, keunikan individu membuat manusia mempunyai control penuh atas kemauannya, apakah ia akan memenuhi kebutuhannya atau tidak, memilih kapan “timing” terbaik, memilih di mana mendapatkannya dan mengontrol dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhannya. Contoh mudah, kita yang sudah berniat berhenti merokok, tiba-tiba ada di kerumunan perokok, yang menawarkan rokok pula. Pada saat ini, keputusan untuk memilih adalah seratus persen disadari oleh individu. Namun impuls, kebutuhan, keinginan individu bisa berkolaborasi dalam melemahkan control drinya. Pada saat inilah biasanya rasio atau pikiran individu bekerja, untuk mencari alasan pengampunan terhadap pelanggaran dirinya, untuk mengurangi rasa bersalah, sehingga individu tetap merasa “seimbang”. Situasi ini kita kenal dengan istilah rasionalisasi alias pembenaran. Pembenaran ini semula hanyalah dialog internal. Namun, bila individu berhadapan dengan lingkungan social, maka ia akan menyusun cerita pembenaran yang bisa diterima, sehingga perbuatannya cocok dengan situasi. Di sinilah control pertahanan diri bisa bobol dan tanpa sadar, tindakan pelanggaran di-“bela” oleh individu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya berubah tanpa control diri yang kuat. Sebagaimana kita sadari, banyak yang berteori dengan perubahan tetapi tidak sadar bahwa kuncinya justru pada control dirinya. “Everybody thinks of changing humanity and nobody thinks of changing himself” (Leo Tolstoy).

Disiplin sebagai Impelementasi Kontrol Diri

Di zaman sekarang, kita jarang menemui orang yang sangat bangga dengan sikap disiplinnya. Bahkan disiplin dikaitkan dengan hukuman, surat peringatan, teguran keras, bahkan PHK. Padahal ini baru penerapan disiplin “kelas kambing”. Bila kita menaati rambu lalu lintas hanya bila ada polisi, tentunya kita tidak bisa mengaku bahwa kita orang berdisiplin. Untuk menjadi seorang yang berdisiplin, latihan-latihan untuk mengontrol diri harus dilakukan jutaan kali dan melalui proses yang panjang. Latihannya antara lain menahan desakan keinginan sambil mengevaluasi keyakinan, memperkuat motivasi dengan membayangkan hasil akhir yang lebih baik, serta mengelola konflik dengan membayangkan konsekuensi pelanggaran versus komitmen yang dibuat. Disiplin memang sering dimulai dari peraturan, tetapi disiplin yang sebenarnya adalah kalau sudah menjadi persepsi tentang hidup atau gaya hidup. Pada tingkat inilah individu baru bisa bangga pada kompetensinya ini dan bisa merasa percaya diri karena mempunyai sikap mental yang benar.

Untungnya Menadi Orang yang Terkontrol
Banyak orang mencampuradukkan sikap mengontrol diri dengan sikap kaku, keras, tegang atau terhambat. Sikap ini tentunya sangat berbeda, karena orang yang bisa mengontrol dirinya, sangat mampu untuk bersikap fleksibel pula. Sementara yang kaku dan terhambat, bisa saja tampil terkontrol, tetapi mudah patah, dan bahkan bisa meledak, lepas control. Orang yang terkontrol biasanya akan tampil tepercaya di pergaulan dan pekerjaan, berintegritas dan yang paling penting, mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan. Orang dengan control diri yang baik akan mudah menjadi orang yang inovatif, bahkan dalam pergaulan bisa mengembangkan “sense of humor” dan empatinya. Bagaimana tidak? Orang seperti ini sudah mengalami gemblengan latihan control diri, di luar kewajiban puasa, secara berjuta-juta kali. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas/ 20/09/2008).


Monday, February 23, 2009

MARI BERBURU MASUKAN

Semua orang pasti setuju pentingnya masukan untuk perbaikan. Namun, seberapa baik dan terbukanya kita mendengar masukan, ketika masukan itu datang di depan mata kita? Seorang pebisnis teman saya tahu persis bahwa saat sekarang, kecanggihan pengaturan cashflow merupakan kunci pertahanan dan kesuksesan bisnisnya saat ini. Ia pun menyetujui direkrutnya seorang eksekutif yang bisa melakukan pengaturan keuangan secara lebih canggih. Saat eksekutif tadi mengemukakan perbaikan dan langkah perubahan yang ia canangkan, pebisnis tersebut langsung berkilah. Dengan daya persuasi yang kuat, ia justru mengarahkan eksekutifnya untuk mengerjakan cara lama saja.

Dalam situasi lain, saya menyaksikan seorang atasan mendengarkan presentasi bawahan yang menyajikan brutal facts yang perlu diwaspadai. Lucunya, atasan tersebut tidak me-“welcome” fakta yang disajikan, mengabaikan untuk menggali fakta dengan sikap skeptis yang sehat, tetapi malah berusaha mempersuasi audiens untuk berpikir bahwa ada kemungkinan data salah, cara pengambilan datanya tidak tepat, dan banyaknya pertimbangan yang tidak dimasukkan. Akhirnya, ‘brutal facts’ yang ditemui dimentahkan lagi, situasi pun tidak berubah, perbaikan bahkan tertolak karena tidak masuk ke benak pemikiran orang-orang yang hadir.

Kita sering mendengar komentar dari orang-orang yang sedang mengalami ke-“ribet”-an, “Anda tidak ngerti persoalannya, sih”. Padahal, saat kita berada dalam ketidakpastian dan kompleksitas seperti inilah, masukan pihak lain menjadi sangat penting. Rasanya tidak perlu mengadaptasi sikap periset yang selalu mengedepankan sikap kreatif dan kritis dalam memperoleh dan mengolah data. “Stakes are high, Feedback is a must”, kata orang.

Masukan: Obyektif atau Subyektif?

Berburu masukan itu ibarat berkeliling menanyakan pendapat tetangga tentang masakan yang baru pertama kali kita buat. Perasaan yang timbul memang bermacam-macam, mulai dari bertaanya-tanya, bangga, tersinggung, atau was-was. Apakah pendapat orang lain obyektif? Bukankah kita yang lebih tahu mengenai apa yang kita tekuni? Apakah mereka cukup ahli dan tidak asal cuap? Sepanjang kita bisa meyakini bahwa masukan itu berguna, kita akan tetap bisa memanfaatkannya. Kita hanya perlu betul-betul mendengar dulu. Kita sering lupa bahwa masukan itu tidak mengenal pangkat, status atau usia. Masukan dari para sesepuh, senior ataupun pegawai rendahan bisa sama berharganya, tergantung seberapa pasnya masukan itu dengan kebutuhan kita.

Kita juga tidak bisa serta merta meragukan obyektivitas masukan orang. Hampir semua situasi atau produk yang kompleks dinilai secara subyektif dan tidak mempunyai ukuran yang pas. Sebut saja produk “I-MAC Supert-thin” atau film “Laskar Pelangi”. Kita tidak akan bisa melihat dan menentukan apakah masukan orang bersifat subyektif atau obyektif, berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Lalu, kalau begitu, apakah kita akan berhenti mengejar masukan?

Transparansi Berharga Mahal

Dalam sebuah tulisan mengenai tren 2009, dikatakan bahwa ini era adalah era ‘instant feedback’. Melalui GPS (Global Positioning System), keberadaan dan pembicaraan siapapun bisa dilacak secara real time. Orang butuh memotret kemacetan lalu lintas saat ini juga, polling pendapat mengenai popularitas diri sebagai politisi harus akurat dan terkini, bahkan instant. Ini adalah era transparansi. “Corporate Governance” pun sebetulnya tidak perlu disosialisasikan karena tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila ada pihak yang menutup-nutupi kecurangan, pasti ada pihak lain yang akan membongkar faktanya. Tengok saja betapa KPK demikian cerdik mendaptkan fakta, demikian pula pers.

Saat sekarang kita memang mesti berlomba adu cepat untuk mendapatkan fakta, baik mengenai situasi pasar, competitor, kinerja perusahaan, kebijakan yang baru dibuat, terutama mengenai diri sendiri. Inilah saatnya kita menciptakan lingkungan dimana setiap orang dimanfaatkan pendapatnya tanpa rasa takut bicara. Kebutuhan terhadap masukan bukan berarti mengombang-ambingkan profesionalisme dan kekokohan prinsip kita, namun kita perlu meyakini bahwa pikiran kita mempunyai keterbatasan dan kita butuh pendapat lain, terutama untuk hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan yang kompleks.

Bola Tetap di Tangan Kita

Kita bisa jadi tidak sadar bahwa kita sering mentah-mentah menolak masukan. Padahal. bagi lembaga yang berbisnis servis serta orang-orang yang terbiasa bergerak maju, mereka bahkan rela membayar mekanisme feedback dengan harga mahal. Individu yang memberi masukan diberi hadiah, bahkan membeli haril riset dan survey kepuasan pelanggan berharga miliyaran rupiah pun dilakukan. Mengapa kesadaran mengenai perlunya berburu masukan ini tidak merata? Bahkan, pengelola pemerintah pun seolah enggan mendengar fakta di lapangan, mengabikan saran-saran ahli yang mumpuni, bahkan menolak brainstorming, yang sesungguhnya bisa menambah wawasan dan khazanah pengetahuan sebelum mengambil keputusan.

Seringkali, tertutupnya pikiran dan hati untuk berburu masukan, disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan antara perasaan serta penjiwaan kita dengan permasalahannya secara obyektif. Bila kita terlalu lebur dengan masalahnya, kita bisa merasa ‘diserang’ bila pendapat atau tindakan kita dipertanyakan. Sebaliknya, kita pun sering lupa bahwa kita tidak perlu segera mengubah apa yang sudah ada pada kita atau kebijakan maupun tindakan yang sudah kita buat, kalau kita mendapatkan masukan yang bertentagan ataupun “nyeleneh”. Bolanya tetap di tangan kita.

Kita perlu secara intensif melakukan evaluasi tindakan kita, dan hanya masukan pihak lainlah yang bisa kita manfaatkan. Bayangkan, betapa ‘basi’-nya sikap keras kepala dan tidak mau menerima ‘feedback’. Hanya orang yang aktif berburu masukanlah yang bisa maju dan mampu menembus unpredictables, ketidakjelasan yang memang ditakuti semua orang. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/Kompas, 24/01/2009)

Sunday, January 25, 2009

Sense of Urgency

Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah saya bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”

Ketika pada tahun 1989 Stephen R Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 Habits, yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen R. Covey mengingatkan bahwa kita sering kali hanya berkonsentrasi pada hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya: budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting’ menjadi sangat populer di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting …” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan. Mengutamaka hal yang ‘penting’ tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan secara berkala, melakukan rapat regular dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja?

“Sense of Urgency” Tidak sama dengan “menghadapi ‘urgency’”

Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan Oktober” atau “Ini masih bulan Oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’, menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang disingkirkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di abu-abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.

Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah selogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisai tidak bosan-bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar.

Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.

‘4-A’ Sense of Urgency
Seoran salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata, “Nggak ada matinya ibu ini …”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman, “Succes motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achive-Asses-Activate dan Accelerate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievemet) yang bila tercapai, segera dievaluasi (asses), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untukmengoptimalkan pencapaian hasil.

Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan, merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh energi. Begitu kita berhasil, atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun meng-“asses” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency” hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang, bahkan bergoyang.

Jadilah “Person in Motion”
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli mengatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsive, misalnya dengan segera menjawab telepon, merespons email, voice mail, blackberry, SMS, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alas an menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.

Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya, bergeraklah, “Do it now!” (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas, 27 Sept. 2008

Cara Jitu Atasi Stres di Kantor


Rutinitas yang serba sibuk di kantor tentunya dapat membuat pikiran anda menjadi stress. Apalagi ditambah dengan tekanan dari berbagai pihak yang dapat ikut menambah tingkat stress anda. Hati-hati, jangan sampai anda menyalurkan stress pada hal-hal yang negative. Untuk mengatasi stress yang semakin membuncah, simaklah kiat-kita berikut ini.

Pertama, manfaatkan waktu istirahat makan siang. Setelah setengah hari bekerja, tentu anda merasa suntuk dan lapar. Tanpa disadari, rasa lapar dapat memicu tingkat seseorang. Pulihkan kondisi anda pada jam istirahat, sembari menyegarkan pikiran dengan berkumpul bersama rekan atau sahabat anda di kantor. Bicarakan hal-hal yang ringan dan dengarkanlah cerita-cerita humor dari mereka. Bersantai sejenak seperti ini terbukti ampuh untuk mengembalikan kesegaran pikiran anda. Jangan lupa, sebaiknya anda tidak membahas masalah pekerjaan ketika makan siang, agar stress anda tidak muncul lagi.

Kedua, lakukan peregangan tubuh. Sesibuk-sibuknya anda jangan biarkan tubuh kelelahan akibat terlalu banyak duduk dan berpikir. Saat merasa lelah, lakukan peregangan tubuh dengan melakukan stretching ringan di tempat. Caranya, regangkan kedua tangan atau menggerakkan kepala anda ke kiri dan kanan. Lalu, kira-kira setiap dua jam sekali, keluarlah sejenak dari ruangan untuk menghirup udara yang lebih segar.
Ketiga, bagi banyak orang, musik terbukti ampuh untuk megatasi stress. Jika anda termasuk salah satu penikmat musik, dengarkanlah musik dari computer anda. Pilihlah musik yang sesuai dengan selera anda. Sambil bekerja, anda pun dapat sambil bersenandung, selama suara anda tidak mengganggu rekan kerja lain.

Keempat, manfaatkan waktu libur untuk melenyapkan segala beban pekerjaan di kantor. Berolahraga, memasak, berkebun, ataupun tidur merupakan beberapa cara untuk mengisi waktu libur anda. Jangan gunakan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Nikmatilah waktu libur anda sebelum menyambut kembali hari-hari sibuk di kantor.

Satu lagi cara jitu menghindari stress, yaitu selalu berpikir positif. Terkadang rasa stress itu dapat berasal dari pikiran negative anda sendiri. Cobalah berpikir segala sesuatu dengan positif agar anda terhindar dari stress. lagi pula, jika anda bisa menghindari stress, hidup anda akan terasa lebih indah dan damai. (INO/ Klasika/ Kompas. 26 Okt. 2008)

Thursday, January 22, 2009

Kita Memang Beda

Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan: “kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan value adding-nya, sebagai manusia utuh. Itulah sebabnya kita perlu berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya: Unity in diversity.

Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita “buang muka” bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan maneuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat sering kita menemui jalan buntu sekadar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih-alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan.

Sama tapi beda
Sikap jijik terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang. Kesamaan latarbelakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering membuat lingkungan kita nyaman, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa menggerakkan satu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaannya, kemenonjolannya, dan keunikannyalah yang kemudian malah bisa mulai memberi nilai tambah kepada tim.

Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi yang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih mendengar, sementara yang lain lebih dominant perasaannya dalam mendekat sutau gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.

Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru dengan yang lain, akibat tidak mampu melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang sebetulnya sama.

Mulai dengan memotret diri sendiri
Ilmu emotional intelligence mengajarkan pada kita untuk meningkatkan self awareness kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai situasi social atau mampu mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari eksplorasi mental yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah seperti “test the water”, feel the breeze”, yang kurang lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar kita.

Cara yang paling mudah untuk “memotret diri” ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini sangat manusiawi karena manusia dibekali proses mental untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya, perlu juga melakukan judging, comparing, interpreting, anticipating, rehearsing, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam menghadapi tantangan.

Bayangkan kalau kita semua sama
Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latarbelakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.
Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali mengetes lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12.000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan 33 (44) partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan, keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. Merdeka! (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/ Kompas, 16 Agt. 2008).

Saturday, January 17, 2009

BEBASKAN DIRI DARI KEBIASAAN LAMA



Menggonta-ganti merek ponsel menyebabkan saya sering salah ketik saat menulis SMS. Posisi tombol-tombol yang berbeda antara satu produsen dengan produsen lain, menyebabkan kebiasaan menekan tombol tertentu terbawa ketika mengetik di ponsel yang baru. Anak saya mengkritik, “SMSmu sering aneh. Kenapa sih tidak lebih berhati-hati saat mengetiknya?” Tentu saja kita bisa lebih berhati-hati dan bekerja lebih perlahan. Namun, seringkali saat terburu-buru, secara tidak sadar kita kerap membawa kebiasaan lama.

Sadar ataupun tidak, salah satu sebab kita tidak lincah berubah, jalan di tempat atau bahkan mundur, terjadi karena kita tidak belajar untuk menghapus pola atau kebiasaan di masa lalu. Kita hanya bisa bergerak ke depan dan membuat terobosan bila kita mampu membebaskan diri dari hal-hal yang kekinian, bahkan masa lalu yang menghambat dan menggandoli kita untuk berubah.

Mengapa orang sulit membuang kebiasaan lama? Dan juga, mengapa orang sering berfokus pada kegiatan belajar hal baru, tanpa ‘concern’ pada menghilangkan kebiasaan lama terlebih dahulu? Ternyata, bila kita pelajari, tidak bisanya kita berubah, atau bahkan sikap pesimis kita untuk bergerak dan mengadakan perubahan banyak dilatarbelakangi oleh cerita sukses masa lampau, yang sulit kita hilangkan. Kalimat seperti, “Saya memang dari dulu begini”, “biasanya ini yang saya lakukan…”, “dari pengalaman saya…” Saat saya memberi saran pada seorang teman untuk mengurangi biaya hidup sebesar 30 persen, sewaktu ia mengeluh tentang situasi krisis, serta-merta ia menjawab, “Mana mungkin..? Sudah bertahun-tahun…” Bila banyak orang memegang paradigma ini, bisa jadi kita akan mengalami keterpurukan lebih jauh.

Tahan Respons, Aktifkan Berpikir Kritis

Konon, mengajari para pilot juga dimulai dari proses “unleasing”. Proses emosi, asumsi, dan kesalahan ekspekstansi bisa membatasi presisi dalam mengukur jarak. Calon pilot harus belajar untuk menahan respons yang datang dan berupaya betul memikirkannya sejenak, sebelum bereaksi. Seorang salesman pun harus ‘menghapus’ pengalaman penolakan-penolakan yang pernah dia alami sejak kecil, baru kemudian bisa menumbuhkan “killer instinct”-nya.

Dalam perusahaan, terutama yang sudah sukses mengimplementasi cara konvensional, kebiasaan para pimpinan menyepelekan, bahkan menahan para junior untuk berpendapat, rasanya sudah saatnya di-“unlean”. Persepsi bahwa senior lebih pintar karena lebih berpengalaman, bisa membutakan seluruh organisasi dari bad news yang ada. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya bila kita jalan terus, menghadapi tantangan, tanpa menyadari bahwa masih ada faham-faham yang usang, asumsi-asumsi dalam system nilai yang menahan kita untuk berubah. Hal inilah yang menyebabkan orang maju mundur untuk berinovasi, terutama bila menghadapi tekanan.

Manusia yang sehat sebenarnya bisa membekali dirinya dengan daya berpikir kritis, yang sudah disebut-sebut Socrates di zaman dahulu. Berpikir kritis antara lain mempertanyakan persepsi, asumsi, system nilai yang ada dalam system penalaran kita. Dalam menghadapi tekanan, kita perlu mengaktifkan daya berpikir kritis kita untuk memerangi praktik-praktik usang yang sudah kita terapkan selama bertahun-tahun. Saatnya kita mempertanyakan, apa masih mau meneruskan berhutang? Apakah masih meneruskan gaya hidup konsumerisme? Apakah kita akan meneruskan cara berkomunikasi yang lama? “Apa iya, tidak bisa diubah…?”

“The Reality Check”

Jangankan orang-orang pandai, pembantu rumah tangga saya pun mulai berubah pola membelinya. Pelanggan menjadi sangat selektif memilah-milah antara yang perlu dan tidak perlu, mana yang membuat mereka benar-benar happy dan mana yang sekadar mengikuti tren. Kita memang harus mengkalkulasikan kocek konsumen yang akan mengempis karena situasi krisis. Bila kita bisa menangkap kebutuhan tersebut, kita pun bisa menyusun langkah untuk menjadi pemenang kembali. Inilah reasoning utama mengapa cara lama yang membuat sukses sudah tidak bisa disebut-sebut lagi. Konstelasi pasar, organisasi, system penggajian akan berubah sesuai dengan situasi terkini (baca: krisis global). Jadi, kita perlu masuk ke dalam tuntutan baru dan menghapus kebiasaan lama. Tidak ada pilihan.

Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan kekuatan yang sudah kita bangun bertahun-tahun? Apakah kita buang begitu saja? Kekuatan seperti pengalaman sukses sebagai professional handal, tentunya bukanlah kekuatan yang tidak bisa digunakan lagi. Hanya saja, kekuatan tersebut harus disiapkan untuk menjawab situasi yang belum kita kenal, belum terbukti dan menantang kita untuk menemukan lahan-lahan baru. Karyawan lama yang kuat dan trampil harus bisa menghandel proses baru, membuat produk baru. Inilah tantangannya. Bahkan ada kompetensi yang perlu dibongkar dan diperbaharui. Misalnya, yang dahulu melakukan penjualan partai besar, sekarang masuk ke ritel bahkan menjajakan barang sendiri. Kita mesti bertindak, ber-mindset dan berparadigma ibarat pegawai baru yang membawa pemikiran dan persepsi yang segar.

“A Great Moment to Innovate”

Bertahannya manajemen perusahaan atau pemerintahan pada praktik-praktik lama, sering membuat kita yang di dalamnya merasa asing pada hal yang “tidak jelas”. Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam ketidakjelasan itulah ada fakta yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Sulitnya, inovasi yang kita temukan di dalam ketidakjelasan ini hanya bisa kita lakukan bila kita percaya bahwa kesempatan itu ada, dan terjun di dalamnya. Dalam situasi ini kita tidak bisa mereka-reka karena tidak ada teori yang sudah bisa membuktikan kesuksesannya. Di sinilah kita ditantang untuk kuat dan tetap komit pada semangat mengeksplorasi.

Dengan semangat optimistis kita sebenarnya bisa melihat bahwa budget yang mengerut dan berkurangnya angka penjualan adalah momentum untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif. Tentunya hal ini hanya terjadi pada orang-orang yang mempunyai keyakinan, ego kuat serta visi yang jelas. Sekaranglah waktunya meneguhkan diri untuk membuat pendekatan baru, menemukan pangsa pasar baru, membuat produk baru serta terjun dan menggunakan bahasa pelanggan baru. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ klasika/ Kompas/20/12/2008)

Friday, January 16, 2009

MENJADI MANUSIA BEBAS

MENJADI MANUSIA BEBAS

Krisi dahsyat menghantam Bumi, dan konon, puncaknya akan terjadi di sekitar pertengahan tahun yang baru ini. Disadari atau tidak, kekhawatiran dan ketakutan melanda umat manusia. Ketakutan kehilangan pekerjaan, nasib usaha, yang semuanya bermuara pada ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Kegalauan melanda jiwa-jiwa yang tanpa disadari mengganggu produktivitas kerja dan fungsi hidup manusia.

Namun, krisis itu tidak bisa dihadapi dan dijalani hanya dengan rasa takut dan khawatir. Itu adalah sikap mental pecundang (loser mentality)… Krisis dahsyat itu hanya bisa dihadapi dan ditakhlukkan dengan sikap sebaliknya (winner mentality).

ada dua esensi sikap mental pemenang yang diperlukan: Pertama, menjadi “penyapu jalan terbaik”! Martin Luther King Jr pernah mengatakan, …Seandainya seseorang terpanggil menjadi tukang sapu, maka seharusnya ia menyapu sebagaimana halnya Michelangelo melukis, atau Bethoven mengomposisi musiknya, atau Shakespeare menuliskan puisinya. Ia seharusnya menyapu sedemikian baiknya sehingga segenap penghuni surga maupun Bumi berhenti sejenak untuk berkata: “Di sini telah hidup seorang penyapu jalan yang begitu hebat, yang melakukan pekerjaannya dengan demikian baik”.

Maka, profesi dan pekerjaan apa pun, yang dijalani sekarang, lebih dulu perlu diterima dengan rasa syukur. Masih banyak saudara lain yang kehilangan pekerjaan, belum bekerja, tak tahu harus berbuat apa. Krisis tak berhak mengganggu dan menggugat yang ada di tangan kita sekarang. Dari rasa syukur akan timbuk kesadaran baru bahwa apa yang masih ada itu adalah karunia, sekaligus amanah. Harus dijalankan sebaik-baiknya dan yang terbaik.

Itulah bentuk mental syukur terpenting dalam kondisi serba krisis dan menakutkan seperti sekarang. Menjalankan sebaik-baiknya apa yang ada di tangan adalah “ibadah” paling bernilai (bentuk rasa syukur paling konkret), yang bukan hanya berguna bagi kita, tetapi juga bagi manusia lain yang terkait dengan kita. Menjalankan segala sesuatunya dibarengi kekhawatiran dan ketakutan akan dahsyatnya krisis, apa adanya, seadanya (yang penting masih ada yang dikerjakan) sama sekali tak berguna bagi siapa pun dan hanya membuat penghuni surga dan Bumi mencibir serta menangis.

Manusia budak atau bebas


Kedua, menjadi “manusia bebas”! Esensi sikap mental pertama tersebut hanya bisa dibentuk melalui esensi kedua, yakni menjadi “manusia bebas”, seperti dimaksudkan Lao Tzu: “…Jika engkau hanya mengerjakan segala sesuatu sebatas apa diharapkan darimu, maka engkau tak ubahnya seorang budak. Namun jika engkau mengerjakan lebih dari yang diharpkan, barulah engkau menjadi manusia bebas”.

Kalimat bijak itu sungguh menyiratkan esensi makna yang indah sekaligus dahsyat. Jika kita hanya bekerja dan menjalankan kewajiban sebatas yang diharapkan, di-standardkan, diminta, maka sesungguhnya kita masih dibatasi dan dikurung oleh batasan-batasan eksternal.


Misalnya, karyawan yang bekerja tentu mempunyai target-target atau KPI (Key Performance Indicator). Target atau KPI ini tentunya ditetapkan oleh pihak eksternal (manajemen, atasan atau perusahaan). Maka, karyawan yang bekerja hanya “sebatas” memenuhi target dan KPI-nya, secara hakiki, ia dibatasi dan dikendalikan oleh pihak eksternal. Itulah yang dimaksud “budak”. Apalagi jika ia bekerja kurang atau di bawah KPI-nya.


Bagaimana menjadi manusia bebas? Ya, dia seseorang (sesuai profesinya masing-masing), mau memberi dan bekerja lebih dari apa yang diharapkan, lebih dari target dan KPI-nya. Artinya, ia telah berani, bersedia, dan mampu menetapkan sendiri batasan-batasan kerja dan hidupnya (tidak lagi oleh pihak eksternal). Karyawan “budak” hanya bekerja sebatas KPI-nya. Karyawan “bebas” bekerja melebihi KPI-nya tanpa diminta.

Sikap mental menjadi “manusia bebas” inilah yang sangat diperlukan di negeri ini. Makna kemerdekaan bukan hanya sekedar lepas dari para penjajah bangsa asing. Bukan jadi “bangsa budak”, melainkan bangsa pemenang yang mampu mengatasi krisis global sehebat apapun.


Sesaat lagi kita akan memilih para pemimpin bangsa di segenap dimensinya. Bangsa ini butuh para “manusia bebas” yang mampu menjadi “penyapu jalan terbaik” di bidangnya masing-masing. (Herry Tjahyono, Corporate Culture Theraphist & President The XO Way, Kompas/3/1/2009)

Wednesday, January 14, 2009

MENYELESAIKAN KONFLIK DI LINGKUNGAN KERJA

MENYELESAIKAN KONFLIK DI LINGKUNGAN KERJA


Ada banyak hal yang bisa memicu konflik di lingkungan kerja, mulai yang terkait dengan tugas dan pekerjaan sampai ke masalah pribadi. Keadaan ini tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan saat beraktivitas di kantor, dan bukan sesuatu yang mustahil kalau berbuntut pada menurunnya produktivitas.


Agar tidak semakin berlarut-larut dan malah merambat ke mana-mana, maka sudah sepatutnya kalau hal ini segera diselesaikan dengan beberapa pendekatan diantaranya:


  1. Mengajak orang yang bersangkutan (terlibat konflik) untuk bicara empat mata di tempat yang jauh dari keramaian. Dengan demikian anda dan lawan bicara bisa lebih bebas mengemukakan isi hati dan pikiran tanpa takut terganggu suasana sekitar.
  2. Saat berbicara, usahakan untuk tetap tenang dan jangan terbawa emosi. Ungkapkan isi hati dan pikiran dengan tenang dan sopan. Satu hal yang perlu diingat adalah mendasarkan semua ucapan berdasarkan fakta atau kenyataan, bukan atas dasar gossip atau asumsi pribadi. Jika tidak, bukannya menyelesaikan masalah, anda malah dapat memperuncing atau menambah masalah.
  3. Perhatikan pula ekspresi dan bahasa tubuh anda saat berbicara. Jangan biarkan, misalnya, anda tidak menatap lawan bicara atau menunjukkan mimik wajah cemberut. Bahasa tubuh yang tepat tentu akan mendukung niat baik anda untuk berdamai.
  4. Dengarkan dengan baik saat rekan anda berbicara dan jangan potong pembicaraan agar pesan yang hendak disampaikan bisa diterima dengan baik. Usahakan untuk berempati, sehingga anda tidak melihat masalah melulu dari sudut pandang anda.
  5. Setelah masing-masing mengungkapkan isi hati dan pikirannya, cobalah untuk memberi satu solusi yang sifatnya fleksibel dan terbuka sehingga jalan tengah atas masalah yang dihadapi bisa tercapai. Jangan lupa di sini anda juga dituntut untuk tenang.

Kalau masalah belum juga selesai, ada baiknya untuk berkonsultasi kepada atasan anda, tentunya dengan tidak menjelek-jelekkan rekan anda sendiri. Toh semua ini demi kebaikan anda sendiri. (ASP/Klasika/Kompas/6/11/2008).


Thursday, January 01, 2009

KUAT DALAM BADAI


Sebuah foto hitam putih, menampilkan perahu kecil berbendera merah putih mengarungi badai, yang ditampilkan saat mengawali presentasi seorang pakar ekonomi, membuat saya berpikir, “Kenapa tidak?” Perahu kecil pun bias bertahan, bahkan mencapai tujuannya, asalkan berjuang, cerdik dan melakukan langkah-langkah yang benar, sebelum, selama, dan sesudah badai terjadi.

Situasi tsunami di depan mata ini memang bisa membuat mental kita down dan bila tidak hati-hati membuat kita tidak berdaya. Riset membuktikan bahwa dalam keadaan terpuruk, banyak eksekutif yang tidak lagi berusaha membuka diri terhadap ide-ide baru pada saat berada dalam situasi stres. Situasi eksternal yang berubah begitu cepat, unpredictable, membuat tak sedikit orang merasa bahwa segala upaya sudah gagal dan tidak akan da upaya lain yang lebih mempan menanggulangi situasi. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya kegagalan tidak selalu harus berasal dari situasi eksternal yang buruk. Kita pun bisa gagal dalam situasi adem ayem, kalau tindakan, keputusan dan cara monitor kita yang salah. Sebaliknya, Grameen Bank tumbuh cemerlang atas prakarsa Prof. Yunus, di lingkungan yang tanpa hujan dan angin pun sudah sangat miskin dan papa.

Cek “Alarm” Diri Anda

Dalam pertemuan pada suatu divisi di sebuah bank, saya mengecek reaksi dari para karyawan terhadap situasi krisis, dengan menampilkan berita 12.600 karyawan yang terancam PHK. Sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah peluang bagi perusahaan lain yang membutuhkan. Namun, terasa bahwa mayoritas karyawan yang berada di divisi yang cukup masih bisa merasakan ‘comfort zone’ ini, masih adem ayem, belum betul-betul menangkap pesan krisis yang disampaikan oleh berbagai media.

Tentu saja, normalnya, tidak seorang pun dalam dunia bisnis maupun non bisnis yang bisa bersikap masa bodoh terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi perusahaan, negara bahkan dunia, saat ini. Kenyataannya, banyak eksekutif yang masih berharap akan datangnya kejutan, atau masih mengira-ngira apakah “mendung” benar-benar akan berubah menjadi “badai”. Sebaliknya, tak sedikit yang berharap bahwa awan yang sedang berkumpul akan berlalu begitu saja.

Seorang teman eksekutif bersungut-sungut ketika rapat memutuskan untuk melakukan brainstorming mendadak untuk memikirkan langkah-langkah pertahanan perusahaan, karena hasil raker sebulan yang lalu pun belum sempat ia presentasikan. Pada saat-saat beginilah setiap individu mestinya perlun mengecek sistem alarm di dalam dirinya. Jika alarm diri tidak bekerja, tidak membuatnya lebih waspada, tidak menjadikannya “berlari”, perlu dicek mengapa tidak bekerja? Bisa saja keadaan ini disebabkan karena kurangnya informasi, kurangnya bergaul, kurangnya kepekaan atau memang tidak inginnya kita menghadapi kenyataan.

Menyusun Kekuatan untuk “Survive”

Teman saya yang tinggal di Inggris mengatakan bahwa krisis ekonomi di negaranya bagaikan siklus. Ia sudah mengalami beberapa kali “ups and down” dan sudah melihatnya dengan cara antisipatif. Dalam keaadaan anjlok begini, tindakan utama yang bisa dilakukan adalah mengencangkan ikat pinggang dan menghentikan pengeluaran yang tidak perlu. Tindakan quick fix seperti meng-“cut” karyawan, mengurangi biaya R&D, menghentikan servis-servis tambahan yang tidak terlalu signifikan, dan berfokus pada ‘survival” jangka pendek memang sudah sering dan lumrah kita dengar dimana-mana. Tentunya ini adalah jalan yang paling bijaksana yang bisa dilakukan, bila perusahaan sudah mencapai titik nol dalam angka penjualan, atau titik minus dalam pertumbuhan laba. Kemungkinan terburuk seperti inilah, yang perlu kita waspadai, walaupun sebisa mungkin kita hindari.

Dalam masa sulit, perusahaan-perusahaan seperti Southwest Airlines, Harley Davidson dan FedEx pernah tidak mem-PHK karyawannya. Sebaliknya, karyawan diajak untuk menggali kekuatan mereka habis-habisan dan mengupayakan segala daya untuk membuat perusahaannya bertahan ketimbang sibuk mencari lowongan pekerjaan lain. Banyak perusahaan bahkan membentuk loyalitas dan kepercayaan karyawan pada situasi yang sulit. Tentunya sudah sangat basi dan ketinggalan kereta jika kita masih memegang mindset “bagaimana nanti saja ...” atau “kita bangun bila sudah ada kesempatan ...” Saatnyalah kita berpikir untuk “cross cutting” secara agresif, sambil tetap merapatkan barisan, menyusun serta meningkatkan profesionalisme. Dengan melakukannya sekaligus, sesungguhnya kita bisa menabung tenaga, spirit, kekuatan, kepandaian untuk menghadapi tantangan dan kesempatan baru dengan memanfaatkan sikap proaktif, kreatif dan inovatif.

Retooling dan restrukturasi tidak bisa dianggap sebagai ancaman, karena perubahan internal sudah harus bersifat sefleksibel mungkin. Lengkah seperti “everybody sells”, pembentukan kerja lintas fungsi, “gunting-copot” individu yang “in charge” tidak bisa lagi dilakukan secara berkala, tetapi harus terjadi setiap saat, karena kinerja pun perlu dimonitor setiap saat.

Belajar dan Menjadi Lebih Kuat dari Situasi Buruk

Dari sejarah yang ada, kita semua menyadari bahwa “badai pasti berlalu”. Tinggal kita jugalah yang menentukan bagaimana kita akan “bermain” di dalamnya. Apakah kita akan mengambil peran sebagai penonton? Sebagai korban? Atau justru aktif berpikir, berencana, belajar dan menjadi lebih kuat dari situasi buruk. Individu atau perusahaan yang cerdik tentunya akan merangkul teman senasib, karyawan, vendor, mitra bisnis, pelanggan, untuk bersama-sama merapatkan barisan dan berstrategi. Perencanaan yang cerdik bahkan membuktikan adanya pertumbuhan bisnis di seputar keterpurukan. “Contingency plan” yang kita kenal dengan istilah plan B, perlu dilengkapi dengan alternatif-alternatif lain, yaitu plan C, D, E dan seterusnya, tanpa meninggalkan fokus dan kekuatan perusahaan. Berada di situasi “bawah” dalam siklus perkembagnan ekonomi, kita bisa berkaca pada ‘mercu suar’, yang selalu berisiko diterjang badai, tetapi tetap melihat jauh ke cakrawala dan bahkan berkinerja terus memancarkan sinar alarm-nya. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/Kompas/06/12/2008)

Related Posts with Thumbnails