Tuesday, May 23, 2006

KEBERHASILAN DALAM HIDUP

KEBERHASILAN DALAM HIDUP

Dalam karya tulis kecil ini, keberhasilan pembentukan diri mendapat tekanan pada pentingnya relasi diri dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan sekitar dan terutama relasi dengan Allah. Relasi itu menuntut perbaikan terus menerus (continual improvement) yang dilandari dengan pandangan filosofis individu manusia dan landasan teologis relasi sendiri. Kemudoian pembentukan diri itu melalui suatu proses belajar dengan bantuan metode Carkhuff.

Keberhasilan pembentukan diri oleh diri sendiri ditentukan oleh kemampuan mengenal diri, kemampuan berrelasi dengan diri sendiri, orang lain, lingkungan dan Tuhan. Kemampuan ini mirip dengan kemampuan emosional (emotional quotient) ala Daniel Goleman. Indikasi kemapuan ini adalah adanya kemampuan memahami dan memotivasi potensi diri, memiliki rasa empati terhadap diri dan orang lain, perasaan senang (berpikir positif), asertif yaituterampil menyampaikan pikiran dan perasaan dengan baik, lugas dan jelas tanpa harus membuat orang lain tersinggung. Orang-orang yang memiliki kecakapan emosional ini dalam sejarah Indonesia adalah mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tanjung.

Para psikolog mengatakan bahwa keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup akan diraih seseorang jika ia bisa menggabungkan tiga kecerdasan yaitu intelektual (intelligent quotient-IQ), emosional (emotional quotient-EQ), dan spiritual (spiritual quotient-SQ). Kecerdasa intelektual adalah kecerdasan menghadapi persoalan teknikal dan intelektual. Kecerdasan emosional adalah keterampilan membangun relasi sosial dalam lingkungan keluarga, kantor, bisnis maupun sosial. Kecerdasan ini melahirkan iklim dialogis, demokratis, partisipatif dan dewasa. Yang terakhir, kemampuan spiritual adalah kemampuan membarikan makna, motivasi dan tujuan hidup yang di dalamnya ada kekuatan adikodrati (Allah).

Danah Zohar dan Ian Marshall, penulis buku Spiritual Quotient: The Ultimate Intelligent, seperti dikutip oleh Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa tanpa disertai kedalaman spiritual, kepandaian (IQ) dan popularitas (EQ) seseorang tidak akan memberikan keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup.

Model diri yang berhasil dalam hidup adalah mereka yang cerdas secara intelektual, emosional dan spiritual yaitu mereka yang kualitas intelektualnya baik, mampu berrelasi sosial secara simpatik, inspiring dan motivating serta memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai spiritual sebagai pandangan hidup.


PENUTUP

Proses transformasi diri manusia dipengaruhi oleh baik tidaknya relasi seseorang dengan dirinya, orang lain, lingkungan sekitar dan juga relasi dengan Allahnya. Karya tulis kecil ini, setidaknya membarikan gambaran bagaimana menumbuhkembangkan diri lewat perbaikan relasi itu.

Perbaikan relasi menajdi semakin penting dan relevan dalam proses tumbuh-kembang diri manusi. Derasnya arus globalisasi, berjubelnya informasi dan semakin pesatnya teknologi canggih (seperti multimedia) dapat mengaburkan dan merusak relasi manusia dengan dirinya, orang lain, lingkungan dan Allahnya. Aneka tawaran berupa kebudayaan, nilai-nilai, perilaku dan informasi berbagai bidang lainnya berdatangan sendiri ke depan mata. Keadaan demikian menuntut kearifan dan kebijaksanaan dalam menyaring dan memilih apa yang positif dan baik serta tegas mengedepankan nilai-nilai dan pandangan hidup yang kita anut dan yakini. Dengan pilihan tersebut diharapkan perbaikan relasi kita tidak terganggu, sehingga proses penumbuhkembangan diri kita dapat berjalan dengan baik dan sehat.


BAHAN ACUAN

Sumber Utama:
Dayringer, R., The Heart of Pastoral Conseling. Healing Through
Relationship, Revised ed. The Haworth Pastoral
Press: New York,. 1998
Eggert, Max, Perfect Counseling, Arrow Books Limited:London, 1996

Fuster, J.M., SJ, Teknik Mendewasakan Diri, Kanisius : Yogyakarta,
1985
Hidayat Komaruddin, Artikelnnya, Jabatan Tinggi, EQ Rendah? dalam
harian umum Kompas, 23 Februari 2005
Sutanto, Limas, Diktat Mata Kuliah Konseling Pastoral, STFT
Widyasasana: Malang, 2002

Sumber lain:

Badudu-Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar harapan: jakarta,
2001
Sudarsono, Drs., S.H., Kamus Konseling, Rineka Cipta: Jakarta, 1997

Monday, May 22, 2006

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI (sambungan)

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI (sambungan)

Tahap III: Tahap Melangkah dan Keterampilan Memulai

a. Pengertian

Setelah kita mengenal keadaan kita, maka kita akan mengerti akar-akar dalam diri kita yang memunculkan keadaan itu dan kita mengerti kemana tujuan kita, tahap berikutnya adalah tahap melangkah. Kita melangkah dari kedudukan di mana kita ke tempat yang kita inginkan. Kita bertindak, menyusun langkah-langkah yang tepat dan sistematis menuju tujuan.

b. Pelaksanaan

Untuk memperlancar proses menuju tujuan ini kita gunakan keterampilan memulai. Keterampilan memulai mengajak kita untuk melihat langkah-langkah yang harus kita ambil untuk mencapai tujuan kita. Kita menyusun langkah-langkah itu secara sistematis menurut jadwal waktu tertentu. Keterampilan-keterampilan itu secara sistematis menurut jadwal waktu tertentu. Keterampilan memulai mempunyai empat langkah:
1) Menentukan tujuan
2) Memilih langkah-langkah untuk mencapai tujuan
3) Memilih langkah-langkah pertama dan berikutnya
4) Menentukan jadwal waktu

Mari kita ikuti contoh ini. Ali masuk tahap melangkah dengan menggunakan keterampilan memulai. Ia menentukan tujuan dengan bertanya pada diri, “Apa tujuan saya?” Ia menjawab, “Tujuan saya adalah Mengikuti kuliah secara intensif dan memanfaatkan kegiatan rohani: pendalaman iman, kelompok Kitab Suci dan mengikuti kegiatan rohani bersama baik lingkungan maupun di kampus sebagai kesempatan memperdalam arti hidup.

Niat tinggal niat tanpa menentukan langkah-langkah konkrit biasanya mudah kandas. Maka ia bertanya, “Apa langkah-langkah yang akan kutempuh untuk mencapai tujuan saya?” Ia kemudian memilih langkah-langkah untuk mencapai tujuan:
· Saya akan rajin belajar dan mengikuti kuliah di Universitas
Indonesia.
· Saya akan mengikuti kegiatan pendalaman iman/ penyegaran
rohani agama saya.
· Saya akan membeli Kitab Suci dan rajin membacanya.
· Saya akan ikut kegiatan rohani bersama baik di kampus maupn
di lingkungan.
· Saya akan merenungkan dan menghayati apa arti dan tujuan
hidupku.

Ali merasa bahwa dengan langkah-langkah itu keinginan memanfaatkan kegiatan rohani untuk memperdalam arti hidup dapat terlaksana. Ia tidak dapat mengambil langkah-langkah itu sekaligus, karena langkah-langkah itu ada yang mudah dilaksanakan dan ada yang sulit. Ia akan menyusun langkah-langkah itu secara sistematis dari yang paling mudah ke yang paling sulit. Ia menentukan sebagai langkah pertama, “Saya akan mohon kekuatan kepada Allah dalam setiap doaku agar dapat mengatasi kemalasan saya dan dapat mengerti arti hidup”. Mengapa langkah pertama harus ditentukan lebih dulu, karena langkah pertama adalah langkah penting untuk memancing langkah-langkah berikut. Seorang bijaksana, Lao Tse pernah mengatakan, “Sebuah pohon sebesar anda bermula dari sebuah biji yang kecil; perjalanan seribu mil berawal dari sebuah langkah kecil”. Pepatah bijaksana ini patut kita pegang dalam setiap langkah kita membentuk diri kita.

Setelah menentukan langkah pertama, ia menentukan langkah-langkah berikutnya:
1) Saya akan memohon kekuatan kepada Allah dalam setiap doaku
agar dapat mengatasi kemalasan saya dan secara mendalam
dapat mengatasi arti hidup ini. Dalam doa saya akan
meyakinkan diri bahwa Allah dapat mengubah dan membentuk
saya.
2) Saya akan mengikuti jadwal kuliah dengan persiapan malamnya
sebelum jam kuliah dimulai.
3) Saya akan mencari jadwal kegiatan pendalaman iman atau
kegiatan rohani baik di lingkungan maupun di kampus.
4) Saya akan mengikuti kegiatan kelompok Kitab Suci.

Setelah menentukan langkah-langkah itu, ia lalu menentukan jadwal kapan ia harus memulai melakukannya. Ia lalu menetapkan bulan, minggu, hari dan jam pelaksanaan secara tepat.

Sekarang Ali memiliki program langkah terorganisasi rapi. Ia mengerti mulai dan kapan mengharapkan mencapai tujuan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan setiap hari, minggu, dan bulan. Dengan cara ini, Ali didorong untuk melangkah terus pelan-pelan karena merasa programnya telah teratur.

Tahap Akhir: Evaluasi

a. Pengertian

Untuk mengetahui apakah program itu terlaksana dengan baik atau tidak, setiap malam Ali meluangkan waktu 10 menit untuk mengevaluasi pelaksanaan programnya. Tanpa evaluasi program langkah belumlah lengkap.

Evaluasi berarti melihat kembali bagaimana program langkah itu dipenuhi; dimana kekuatan-kekuatan dan kelemahannya; pembenahan apa yang perlu dilengkapi; bagaimana kita membangun dan menguatkan motivasi dalam diri kita; bagaimana menjamin keberhasilan dalam penyempurnaannya.

b. Pelaksanaan

Demi keberhasilan program, sebaiknya kita tidak menginjak langkah yang lebih lanjut sebelum yang mendahuluinya sepenuhnya tercapai. Jadwal waktu hendaknya fleksibel sehingga ada kemungkinan diadakan pembenahan berdasarkan perkembangan pelaksanaan. Jadi satu langkah mungkin bisa dilaksanakan lebih cepat, yang lain lebih lambat.

Mungkin yang paling sulit dari pelaksanaan program ini adalah mempertahankan semangat kita dalam memenuhi apa yang telah diputuskan. Di sini pemakaian perangsang positif dan negatif akan sangat membantu yaitu: memberi hadian kepada diri sendiri bila mengambil langkah dengan tepat dan menghukum bila malas atau ada faktor lain yang membuat kita gagal memenuhi apa yang telah kita temukan.

Thursday, May 18, 2006

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI (sambungan)

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI (sambungan)

TahapII: Mengerti diri dan keterampilan mempribadikan

a. Pengertian

Dengan tahap menyelidiki diri kita tahu keadaan diri yang obyektif. Tahap berikut dari proses belajar kita adalah MENGERTI DIRI. Kita mengerti dimana kedudukan kita dalam hubungannya dengan tujuan yang ingin kita capai. Pada tahap mengerti diri ini, kita berusaha mengerti akar-akar penyebab dalam diri kita yang ikut serta menciptakan keadaan kita itu. Dengan kata lain, kita ingin mengerti apa yang saya buat dan tidak saya buat sehingga keadaan saya itu tercipta.

Bila kita ingin mengerti akar penyebab dalam diri kita yaitu apa yang kita buat dan tidak kita buat sehingga keadaan itu terjadi, atau kita tahu apa andil kita dalam menciptakan keadaan kita itu, maka kita kan mengerti pula apa yang sekarang harus kita buat untuk memperbaiki keadaan itu.

b. Pelaksanaan

Untuk memperlancar mengerti diri ini, kita gunakan keterampilan MEMPRIBADIKAN. Ada dua macam keterampilan mempribadikan, yaitu keterampilan mempribadikan permasalahan dan keterampilan mempribadikan tujuan.

Keterampilan mempribadikan permasalahan kita laksanakan dengan mengajukan pertanyaan kepada diri kita, “Dengan cara bagaimana saya ikut serta menciptakan keadaan saya itu?” atau “Apa yang saya buat dan tidak sehingga saya iri kepada teman saya?” Saya menjadab, “Saya iri karena saya tidak mau menerima diri saya apa adanya dan saya tidak mendalami perintah kasih sayang kepada sesama. “Sekarang saya tahu akar permasalahan dalam diri saya yang menciptakan keadaan saya itu. Saya tidak mau menerima diri dan tidak mendalami perintah kasih sayang kepada sesama”. Inilah yang disebut mempribadikan masalah.

Setelah mengerti akar permasalahan yang ada dalam diri saya, saya menentukan apa yang harus saya buat untuk memperbaiki keadaan. Saya menggunakan keterampilan mempribadikan tujuan. Saya bertanya kepada diriku, “Apa tujuan hidup saya sekarang?” Saya menjawab, “Tujuan hidup saya ialah belajar menerima diri saya apa adanya dan merenungkan perintah kasih kepada sesama manusia”.

Keterampilan mempribadikan permasalahan membuat kita sadar akan akar keterlibatan kita dalam permasalahan kita dan membuat kita bertanggung jawab atas apa yang kita buat dan tidak kita buat. Ini membebaskan kita kecenderungan menyalahkan orang lain dalam menghadapi permasalahan kita. Bila dalam menghadapi permasalahan, kita menyalahkan orang lain, maka kita tidak akan terdorong untuk mengubah diri. Dan permasalahan kita tidak akan terpecahkan. Dengan memusatkan pada apa yang saya buat dan tidak saya buat sehingga keadaan itu muncul, maka saya didorong untuk mengubah diri. Dengan demikian ada harapan perubahan.

Keterampilan mempribadikan tujuan membuat kita mampu mengubah permasalahan menjadi tujuan. Dengan demikian kita tahu arah untuk bertindak. Arah inilah yang harus kita ikuti dan semaksimal mungkin kita mencurahkan daya kita untuk tindakan perbaikan.
Mari kita iktui contoh ini. Ali pada tahap menyelidiki diri menemukan, “Saya tidak bersemangat mengikuti kuliah di Universitas Indonesia karena saya tidak dapat melihat makna dan hidup dan tujuan kuliah bagi masa depan saya”. Dalam keadaan sperti itu, doa saya terasa kering karena sulit menemukan Allah dalam hidup saya”. Selanjutnya ia ingin masuk tahap II dari proses belajar yaitu mengerti diri. Ia menggunakan kecakapan mempribadikan permasalahan. Ia bertanya, “Apa keterlibatan saya dalam permasalahan ini?” Dia merenungkan sejenak dan mohon bimbingan Tuhan. Lalu dia menjawab, “Saya selama ini tidak pernah mencari dan memperdalam arti hidup dengan lebih serius. Rumusan ini masih agak kabur, maka ia bertanya lagi, “Apa yang persis saya maksud? Yang saya maksud adalah bahwa saya selama ini tidak pernah memanfaatkan kegiatan-kegiatan rohani seperti pendalaman iman dan membaca Kitab Suci dan bersama sebagai kesempatan untuk memperdalam arti hidup, sehingga pandangan saya tentang hidup menjadi picik dan dangkal. Ia ikut doa dan pendalaman iman sekedar hadir saja”.

Setelah yakin akan keterlibatannya dalam permasalahannya, Ali melaksananakan keterampilan mempribadikan tujuan dengan mengubah permasalahan menjadi tujuan. “Tujuan saya ialah memanfaatkan kegiata-kegiatan rohani: pendalaman iman, bacaan Kitab Suci dan doa bersama sebagai kesempatan untuk memperdalam arti hidup”. Sekarang Ali melihat dengan jelas arah yang harus dituju sehingga mencurahkan daya untuk mencapai tujuan itu.

Wednesday, May 17, 2006

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI

PRAKTEK PEMBENTUKAN DIRI

Metode Carkhuff pada bagian terdahulu tulisan ini sangat membantu kita mengorganisasi sumber-sumber daya manusiawi kita. Pengorganisasian dapat dilakasanakan dengan proses belajar melalui tiga tahap: MENYELIDIKI DIRI, MENGERTI DIRI DAN MELANGKAH. Untuk mempermudah penyelidikan diri, kita perlu memiliki keterampilan menjawab diri. Untuk mempermudah mengerti diri, kita perlu memiliki keterampilan mempribadikan permasalahan dan mempribadikan tujuan. Untuk membantu melangkah, kita perlu memiliki keterampilan memulai. Kita perlukan pula evaluasi dari semua langkah itu. Itu semua kita laksanakan berdasarkan sikap dasar: EMPATI, OTENTIK, RESPEK, KONFRONTASI dan PERWUJUDAN DIRI. Dan yang tidak boleh dilupakan ialah bahwa semua ini harus kita laksanakan dalam semangat doa, terus-menerus memohon rahmat Allah. Sebab betapapun sempurnanya metode itu dilaksanakan, namun tanpa rahmat Allah juga tak akan mendewasakan.

Tahap I: Tahap menyelidikidiri dan keterampilan menjawab diri

a. Pengertian
Tahap pertama proses belajar pembentukan diri adalah menyelidiki diri kita dimana kedudukan kita dalam dunia kita. Ini berarti kita berusaha mengenal keadaan kita yang obyektif, apa adanya, apa yang sesungguhnya.

Kita masuk ke dalam daerah pribadi kita yang kurang lebih kabur bagi kita. Di situ kita dapat memperjelas persoalan-persoalan kita, mencanangkan kembali arah tujuan kita yang sudah hilang, menghubungkan kembali pengalaman-pengalaman kita. Dengan demikian kita dapat menemukan kembali kesatuan dalam diri kita yang menjadi daya untuk menerima pendewasaan dari Allah.

b. Pelaksanaan

Untuk memperlancar penyelidikan diri, kita menggunakan kecakanapan menjadab diri yaitu kita bertanya kepada diri kita dan berusaha menjawabnya. Bagaimana hal ini kita laksanakan?

Kita masuk ke dalam diri kita dengan mengenali perasaan-perasaan yang ada dalam diri kita serta alasan-alasan munculnya perasaan-perasaan itu. Kita bertanya kepada diri kita: “Apa yang saya rasakan sekarang ini? Dan apa sebabnya saya merasakan itu?” Kita menjawab apa adanya misalnya: “saya merasa iri pada teman-teman saya karena dia mendapat nilai baik sedangkan saya tidak”. “Saya merasa gelisah, murung, kecewa karena saya tidak lulus dalam kursus bahasa Perancis”. “Saya kecewa karena keluarga saya miskin dan orang tua tidak dapat membelikan sepeda motor untuk saya”. “Saya merasa penuh syukur karena saya diberikan anugerah iman yang besar”, dan seterusnya. Kita menjawab diri apa adanya dan semua perasaan beserta alasan-alasannya itu dengan nama-nama yang jelas dan tepat.
Untuk memperlancar pengenalan terhadap perasasn-perasaan serta alasan-alasannya dibutuhkan sikap empati dan respek. Bila seseorang mempunyai persoalan, kemudian orang itu mengemukakan persoalannya itu kepada orang lain yang mau mendengarkan penuh pengertian, empati, respek, maka orang itu akan semakin didorong untuk semakin mengungkapkan apa yang dirasakannya. Demikian pula diri kita. Bila kita mendengarkan apa yang dirasakan maka kita akan semakin didorong untuk semakin dalam mengungkapkan apa yang kita rasakan.

Mari kita ikuti contoh ini. Ali selalu merasa kecewa, malas dan tidak bersemangat dalam hidupnya. Ia ingin mengenal keadaan dirinya yang sesungguhnya. Ia mulai mengambil langkah pertama dengan menjawab diri. Ia bertanya pada dirinya. “Apa yang saya rasakan dan mengapa?” Ia menjawab, “Saya merasa kecewa, malas dan tidak bersemangat, karena tidak diterima di Universitas Indonesia”. Ia menerima ungkapan perasaan dirinya itu dengan penuh pengertian, empati dan respek maka ia didorong untuk menjawab diri lebih dalam lagi. “Saya mengikuti pelajaran dan kursus tidak bersemangat; saya lebih suka menyendiri; persahabatan dengan tema-teman mulai kuang hangat; iman menjadi goyah karena kecewa terhadap Tuhan.

Monday, May 15, 2006

BANTUAN METODE CARKHUFF (sambungan)

BANTUAN METODE CARKHUFF (sambungan)

B. Lima Sikap Dasar dalam Metode Carkhuff

Ketiga tahap proses belajar menuju pertumbuhan pribadi pada bagian (a) dapat terlaksana dengan tepat dan lancar kalau didasari dengan 5 sikap dasar. Kelima sikap dasar tersebut adalah seperti di bawah ini.

(1) Sikap Empatik
Sikap empatik merupakan kemampuan merasakan dan mengerti dengan tepat apa yang saya alami dan saya rasakan, dan dengan jelas dapat mengungkapkan pengertian itu. Bila Lidia merasa sedih atau tidak bisa dengan tepat mengungkapkan apa yang ia rasakan, misalnya ia hanya mengatakan, “Saya tidak enak dengan teman-teman”, ia tidak dapat menyelidiki diri.

(2) Sikap Otentik
Otentik berarti orisinil, asli. Orang yang bersikap otentik berarti orang yang mau dengan jujur dan terbuka mengungkapkan apa yang sesungguhnya ada dalam dirinya. Tidak menutup-nutupi karena mungkin keadaannya jelek atau memalukan. Bila Lidia tidak mau dengan jujur mengakui bahwa dirinya disingkiri teman-temannya karena egoistis, tetapi mengatakan, “Teman-teman menyingkiri saya karena mereka sombong”, maka proses belajar menjadi mandek.

(3) Sikap Respek
Respek berarti hormat atau menghargai. Sikap respek terhadap diri berarti mau menerima diri apa adanya dengan penuh kasih karena sadar, bahwa seperti apapun keadaannya, diri saya tetap bernilai dan memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi lebih baik. Bila setelah merasakan dirinya disingkiri oleh teman-temannya, Lidia merasa dirinya tak berharga kemudian malah semakin menyendiri, maka dalam pergaulan Lidia tak akan bertumbuh kembang.

(4) Sikap Konfrontasi
Konfrontasi berarti saling berhadapan atau bertatapan. Sikap konfrontasi terhadap diri berarti mau mencari kekurangan-kekurangan diri dan menyadari secara penuh kekurangan-kekurangannya itu sebagai miliknya. Bila Lidia malas tidak mau menemukan bahwa dirinya egoistis atau tidak mengakui itu sebagai kekurangannya karena jelek, maka dalam pergaulan ia tidak akan tumbuh dan berkembang.

(5) Sikap Perwujudan Diri
Sikap ini boleh dirumuskan sebagai semangat bertumbuh kembang. Sikap ini pada dasarnya merupakan sikap mau mengejar dengan penuh semangat perwujudan diri yang semakin sempurna.Dalam sikap ini termuat suatu kemauan besar untuk maju, untuk mencapai realisasi diri yang semakin penuh. Bila Lidia tidak berminat untuk maju dalam pergaulan maka tidak akan melaksnakan prosesbelajar atau mungkin hanya sampai pada tahap mempribadikan dan enggan mengambil langkah nyata.

BANTUAN METODE CARKHUFF

BANTUAN METODE CARKHUFF

A. Metode Carkhuff

Thomas Alpha Edison adalah penemu lampu pijar. Prosesnya adalah sebagai berikut: dia mula-mula menyelidiki atau mengamati dengan cermat sifat-sifat dasar listrik, karbon, wolfram, pijar di ruang hampa. Dengan penyelidikan itu, ia mengerti sifat-sifat dasar itu. Setelah mengerti secukupnya, ia mulai melangkah mengadakan percobaan-percobaan. Hasil percobaan itu diselidiki lagi sehingga, lebih memperdalam pengertian dan ini menjadi dasar percobaan-percobaan berikutnya. Demikianlah ia akhirnya menemukan lampu pijar dan dengan penyelidikan, pengertian yang lebih mendalam serta langkah-langkah percobaan selanjutnya, sistem lampu pijar semakin disempurnakan.

Sistem lampu pijar ditemukan melalui suatu proses belajar: menyelidiki, mengerti dan melangkah. Demikianlah pula para ilmuwan yang lain. Mereka mengembangkan ilmunya melalui proses belajar yang sama: menyelidiki obyek, mengerti obyek dan melangkah dengan percobaan-percobaan. Penemuan-penemuan yang sekarang, mendasari proses belajar berikutnya. Melalui cara ini, ilmu terus berkembang.

Proses pertumbuhan psikologis pribadi mengalami langkah-langkah yang sama. Robert R. Carkhuff telah meneliti unsur-unsur proses belajar dalam hubungan antar manusia dan pertumbuhan pribadi. Menurut beliau, pertumbuhan pribadi dapat diusahakan dengan lebih intensif melalui tiga tahap proses belajar:
(1)Menyelidiki dimana kedudukan anda dalam dunia anda.
(2)Mengerti dimana kedudukan anda dalam hubungan dengan
tujuan yang ingin anda capai.
(3)Melangkah dari kedudukan dimana anda ke tujuan yang ingin anda
capai.

Tahap I: Selidikilah dimana kedudukan anda dalam dunia anda

Penyelidikan di sini berarti kita berusaha mengenal keadaan diri kita sendiri secara obyektif, apa adanya dan sesuai kenyataan. Tanpa malu bila banyak kelemahan, tanpa mengingkari bila punya kelebihan. Tahap ini membantu kita memiliki gambaran yang benar tentang diri. Ia disebut tahap MENYELIDIKI DIRI.

Bagaimana cara kita menyelidiki diri? Caranya adalah dengan bertanya kepada diri sendiri dan berusaha menjawabnya. Semakin terampil kita bertanya dan menjawabi diri, semakin intensif pula penyelidikan diri. Keterampilan bertanya dan menjawabi diri disebut keterampilan MENJAWAB DIRI.

Tahap II: Mengerti dimana kedudukan anda dalam hubungan dengan tujuan yang ingin anda capai.

Setelah kita mengenal keadaan diri secara obyektif, tahap berikutnya adalah kita berusaha mengerti diri kita dengan mengenal diri kita lebih dalam lagi. Kita berusaha mengerti akar-akar penyebab yang menciptakan keadaan kita itu. Inilah yang disebut tahap MENGERTI DIRI.

Bagaimana hal ini dapat kita lakukan? Dengan menjawab pertanyaan, “Dengan cara bagaimana saya ikut serta menciptakan keadaan saya itu?” atau “Apa yang saya buat dan tidak saya buat hingga keadaan saya ini tercipta?” Semakin terampil kita menjawab pertanyaan ini, semakin intensif pula kita mengetahui akar-akar dalam diri kita yang menciptakan keadaan itu. Keterampilan ini mencegah kita untuk begitu saja menyalahkan orang lain bila ada ketidakadilan dalam diri kita atau perlakuan-perlakuan menyakitkan. Keterampilan ini disebut keterampilan MEMPERIBADIKAN. Ada 2 macam keterampilan mempribadikan yaitu: MEMPERIBADIKAN PERMASALAHAN dan MEMPRIBADIKAN TUJUAN. Yang pertama berarti kita berusaha mencari akar-akar dalam diri kita yang menciptakan keadaan kita yaitu apa yang saya buat dan tidak sehingga menyebabkan keadaan saya itu, maka saya tahu pula apa yang harus saya buat sekarang untuk memperbaiki keadaan. Inilah keterampilan mempribadikan yang kedua.

Tahap III: Melangkah dari kedudukan dimana anda ke tujuan yang adna inginkan.

Setelah kita mengenal diri, mengerti akar-akar permasalahan dan mengerti kemana tujuan kita, tahap selanjutnya adalah bertindak yaitu melangkah secara sistematis ke tujuan. Inilah tahap MELANGKAH.
Hal ini kita laksanakan dengan memulai tindakan nyata. Kita memulai langkah-langkah yang sudah disusun secara sistematis mulai dari tindakan pertama hingga tindakan akhir menuju tujuan. Keterampilan ini disebut keterampilan MEMULAI.

...b. Lima sikap dasar metode Carkhuff

Friday, May 12, 2006

PROSES TUMBUH KEMBANG DIRI MANUSIA

PROSES TUMBUH KEMBANG DIRI MANUSIA

Tahap-tahap pertumbuhan potensi manusiawi diwarnai oleh gerakan menuju kemandirian. Dari tahap tergantung pada orang lain dalam belajar, orang bergerak sedikit demi sedikit menuju kemandirian dimana orang berlatih belajar sendiri. Selanjutnya mereka merasakan bahwa selama mengajarkan orang lain apa yang telah mereka pelajari, mereka juga belajar dari orang lain. Dengan demikian mereka sampai pada tahap yang lebih tinggi yaitu tahap saling tergantung.

Pada awalnya, orang yang belajar masih tergantung pada orang lain dalam hal belajar. Mereka hanya memiliki pandangan yang mereka ambil alih dari orang lain. Beberapa diantaranya hanya menjadi pelaksana program yang ditentukan orang lain. Akibatnya mereka biasanya hanya memiliki sebagian dari proses belajar itu.

Setelah para pelajar dapat mandiri, mereka berusaha belajar sendiri yaitu menyelidiki situasi mereka sendiri, mengerti tujuan mereka dan melaksanakan program mereka sendiri. Mereka menjadi pembantu diri mereka sendiri sebagaimana orang lain dahulu membantu mereka.

Pada tahap yang tertinggi, para pelajar mencapai tahap saling tergantung yaitu lebih dari apa yang telah mereka terima pada tahap mandiri. Orang pada tahap ini mengalami dalam setiap proses membagikan pengetahuan mereka kepada orang lain, seraya mereka sendiri menerima umpan balik dan mendapat tambahan pengetahuan dari orang lain. Dengan demikian orang pada tahap ini menyadari kebutuhan mereka akan orang lain untuk memperkaya dirinya.
Boleh dikatakan bahwa tahap-tahap perkembangan potensi manusiawi itu, orang bergerak dari tahap TERGANTUNG PADA ORANG LAIN dalam belajar, melalui tahap belajar sendiri secara MANDIRI, akhirnya menuju tahap belajar sendiri dan dari orang lain yang SALING TERGANTUNG.

Manusia secara kodrati memang memiliki keterbatasan-keterbatan. Itulah sebabnya ia membutuhkan orang lain sebagaimana orang lain membutuhkan saya. Sebab kesempurnaan dan kelengkapan manusia sebagai manusia tercapai dalam kehidupan bersama orang lain. Manusia adalah makhluk sosial yang hanya bisa mencapai kebahagiaan dalam hidup bersama orang lain.

Wednesday, May 10, 2006

06. MAWAS DIRI YANG BERLEBIHAN

06. MAWAS DIRI YANG BERLEBIHAN

Kata mawas diri bisa disebut juga sebagai kegiatan memeriksa diri. Dengan mawas diri berarti kita melihat ke dalam diri sewaktu kita memeriksa batin kita, Pemeriksaan batin dapat dipergunakan secara keliru sehingga lebih bersifat menghalangi daripada membantu pembentukan diri kita. Bila titik perhatian hanya diberikan pada kekurangan-kekurangan diri kita, membuat daftar kesalahan serta terus-menerus diingatkan bahwa kita kurang dalam hal ini dan hal itu, ini akan menyebabkan perasaan depresi dan takut dalam diri kita.

Seorang rohaniwati Katolik Santa Teresia dari Avila seperti dikutip oleh J>M Fuster SJ, mengatakan, “Sejauh yang saya alami, kita tidak akan berhasil dalam menerima diri kita selain dengan mencari pengertian itu pada Allah... Jika kita berbalik dari diri sendiri menuju allah, pengertian kita dan kehendak kita akan menjadi lebih mulia dan lebih siap merangkul semua hal yang baik; Bila kita tidak pernah bangkit dari lembah kepapaan kita sendiri, kita akan merugikan diri sendiri”. Ia menasehatkan kepada kita jangan sampai kita ingin tahu diri sendiri dengan menganalisis diri kita secara langsung, tetapi dengan pemeriksaan diri kita di bawah sinar terang ilahi.

04. KELEKATAN-KELEKATAN TIDAK TERATUR

04. KELEKATAN-KELEKATAN TIDAK TERATUR

Sejak masa kecil kita sudah mempunyai ikatan persatuan dengan keluarga, sahabat, teman dan sesama. Kasih tanpa ikatan dak dapat dimengerti. Kita juga lekat pada hak milik, negara, profesi kita dan pada sarana-sarana yang kita gunakan untuk kesuksesan hidup kita.

Kesulitan mulai timbul bila suatu kelekatan menjadi tidak teratur yaitu ketika kita menilai seseorang atau sesuatu lebih tinggi daripada kasih dan pengabdian kepada Allah. Sejauh kita mengasihi Allah di atas segala-galanya dan siap mengorbankan segala sesuatu demi kemuliaan Allah, kita tidak memiliki kelekatan-kelekatan tak teratur. Tetapi pada saat kita atau sesuatu mempesonakan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak mempergunakannya sesuai dengan kehendak Allah, ini berarti dalam diri kita ada kelekatan-kelekatan tak teratur terhadap seseorang atau terhadap sesuatu.

05. PENGERTIAN KELIRU TENTANG SEKS

Seks merupakan sesuatu yang indah yang dianugerahkan Sang Pencipta kepada makhlukNya. Seks menjadi sesuatu daya yang kuat yang kita alami dalam diri dan hidup kita.

Daya inilah yang membuat sepasang muda-mudi jatuh cinta, saling menyerahkan diri seutuhnya dan berdua berprasetya saling mencintai selamanya. Daya ini mendorong merek untuk saling membantu memperkembangkan diri menjadi ibu dan bapak yang matang dan yang menyayangi anak mereka.

Persoalannya adalah bila daya itu dimengerti dan dihayati secara keliru, maka yang terjadi adalah adalah pengejaran kebutuhan egoistis, memburu kepuasan diri, sehingga hal ini akan merusak relasi diri dengan sendiri, orang lain dan menjauhkan diri dari Allah. Akibatnya, orang itu akhirnya jatuh pada kesepian batin dan kekecewaan yang mendalam.

Pengertian dan penghayatan seks secara keliru benar-benar menjadi penghalang bagi proses pembentukan diri menuju tumbuh kembang pribadi dewasa dan utuh.

Tuesday, May 09, 2006

03. Luka-luka batin yang mengganggu

03. Luka-luka batin yang mengganggu

(A). Pengertian

Kita seringkali gelisah, takut, marah dan kadang merasa ditolak. Kadang-kadang kita tidak tahu apa penyebabnya. Keadaan gelisah, takut, marah dan merasa ditolak bisa jadi merupakan efek atau akibat dari pengalaman pahit di masa lampau (perlakuan menyakitkan pada masa kecil).

Pada masa kecil, bahka sejak dalam kandungan, kita barang kali pernah diperlakukan tidak adil, tidak dimengerti orang lain, difitnah, tidak dipercaya dan dihargai. Pengalaman tersebut membuat batin kita terluka. Efeknya barulah bisa kita rasakan ketika kita sudah menginjak usia remaja dan dewasa seperti cepat marah, sakit, minder dan frustrasi. Sebab perlakuan-perlakuan itu sedemikian bertumbuh kembang dalam pikiran kita, sehingga mencengkeram kita kuat-kuat sehingga sulit melupakannya. Kita mungkin merasa sangat sulit mengampuni dengan jujur orang yang melukai batin kita.

(02). Solusi ata luka-luka batin

Ketika pengalaman pahit atau luka-luka batin kita muncul atau kambuh, kita betapa sulit berdoa dengan khidmat, tidak dapat memusatkan pikiran pada pekerjaan kita, kurang semangat dan gairah dalam hidup. Dan semua itu menghambat kita untuk membentuk diri kita menjadi pribadi dewasa dan utuh.

Solusi terbaik tidak bisa tidak, hanyalah memohon bantuan kekuatan rahmat Allah dan kemauan kuat dari diri kita untuk bertumbuh kembang menjadi pribadi dewasa. Dari pihak Allah, kita membutuhkan rahmat Allah. Dari diri kita dituntut kemauan untuk mengakui, menerima, mengolah hal-hal atau perlakuan sakit yang menjadi penyebab luka-luka batin kita serta memaafkan para pelakunya dan lalu mau diubah oleh rahmat Allah melalui komunikasi dengan Allah (DOA).

Dengan mau mengakui adanya luka-luka batin atau pengalaman pahit tersebut, lalu menerima dan mengolahnya menjadi kekuatan positif serta mengubah sikap dasar kita yaitu mau bertumbuh kembang menjadi pribadi dewasa.

Usaha ini memang sulit, tetapi bila kita membiarkan rahmat Allah mengubah dan menguatkan kita untuk bertumbuh kembang, maka kita akan merasa bahagia. Artinya relasi dengan Allah kita jalin mejadi relasi akrab melalui ketekunan berdoa.

Bila kita peka terhadap kasih Allah pada kita dan merasakan betapa besar perhatianNya kepada kita agar kita semakin dekat padaNya, dan kita percaya akan kekuatanNya yang dapat mengubah hati kita, maka kita akan menghirup hawa segar dan kebahagiaan batiniah.

.......04. Kelekatan-kelekatan tidak teratur

Thursday, May 04, 2006

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PROSES PEMBENTUKAN DIRI MANUSIA

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PROSES PEMBENTUKAN DIRI MANUSIA
(sambungan)

2. Gambaran Diri Yang Keliru
Ada berbagai pandangan-pandangan yang membentuk gambaran diri yang keliru. Pandangan-pandangan tersebut antara lain: menghargai diri hanya berdasarkan prestasi, sikap perfeksionis, tak mampu melihat segi baik dalam dirinya, kerendahan hati yang keliru, tidak melihat diri sebagai hasil pilihan dan tuntunan Allah dalam rencanaNya.

a. Menghargai diri hanya berdasarkan prestasi
Kerapkali kehidupan dalam keluarga dan masyarakat membentuk diri kita berpandangan bahwa seseorang dihargai apabila mencapai prestasi akademis, ketrampilan, bakat-bakat khusus dan sebagainya. Maka bila orang tidak puas akan apa yang dicapai dan mutu yang diraihnya, orang memiliki gambaran yang miskin tentang dirinya.
b. Sikap Perfeksionis
Sejumlah orang yang memiliki sikap perfeksionis yang ingin segala-galanya sempurna dan tidak mau melihat kenyataan diri apa adanya dengan seluruh kekurangannya. Mereka sangat ambisius dan tak ada sesuatu pun yang cukup memuaskan bagi mereka. Bila mereka terus menerus gagal mencapai standar yang tinggi ini, mereka merasa dirinya jelek, rendah.

c. Tak mampu melihat segi baik dalam dirinya
Orang akan memiliki gambaran yang keliru tentang dirinya bila senantiasa membandingkan apa yang dimiliki oleh orang lain dan dia tidak punya. Hal ini membutakan mereka terhadap segi-segi baik yang mereka miliki/ sehingga mereka tidak dapat melihat hal-hal yang baik yang ada pada diri mereka. Pembandingan yang tidak menguntungkan kerap dibuat sehubungan dengan berbagai hal seperti bentuk tubuh, suara, rambut, kecantikan, keadaan sosial, prestasi akademis, status dan lain sebagainya.
d. Kerendahan hati yang keliru
Ada sebagian orang yang berpandangan bahwa peringatan berulang-ulang melawan cinta diri kerapkali menjadi alat ampuh secara ideologis untuk menekan spontanitas dan perkembangan kepribadian yang bebas. Orang terus menerus dihujani nasehat-nasehat agar semakin taat dan mengorbankan diri. Hanya tindakan-tindakan itulah yang dianggap tidak egoistis, yang tidak mengabdi diri pribadi tetapi hanya mengabdi pada orang lain atau kepentingan di luar diri kita.
Bila orang terus menerus menerapkan nasihat seperti itu, maka orang akan memiliki sikap-sikap negatif terhadap diri orang tidak akan menghargai dan berbuat sesuatu yang baik bagi dirinya.
e. Tidak melihat diri sebagai hasil pilihan dan tuntunan Allah dalam rencanaNya.
Inilah penyebab utama dan yang mendasar bagi gambaran diri yang keliru yaitu bahwa orang tidak melihat dirinya sebagai hasil dari pilihan dan tuntunan Allah dalam rencanaNya. Orang lebih condong untuk melihat diriNya sebagai hasil usaha sendiri yang berpusat pada diri.

Pada intinya gambaran diri yang keliru akan dapat menghalangi dalam memberi dan menerima kasih. Bila kita ingin mengasihi Allah dan sesama dan menerima kasih mereka, kita harus mulai dengan mengasihi diri kita lebih dahulu. Bila kita mengasihi diri kita, kita akan mengalami bahwa diri kita itu berharga, bernilai, berguna. Pengalaman ini secara spontan akan membuka diri kita untuk memberi dan menerima aksih dan akan mengundang orang lain untuk mengasihi kita.

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PROSES TUMBUH KEMBANG INDIVIDU MANUSIA

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PROSES TUMBUH KEMBANG INDIVIDU MANUSIA

Berbagai hambatan yang terdapat pada diri kita dapat disebutkan antara lain: gambaran keliru tentang Allah, gambaran keliru tentang diri kita, luka-luka batin, kelekatan-kelekatan tak teratur, pengertian keliru tentang seks, mawas diri yang berlebihan, ketakutan dan kekuatiran.

1. Gambaran keliru tentang Allah.
Kerapkali banyak dari kita diarahkan untuk memandang “ayah” sebagai kuasa yang kuat menghukum kita bila kita tidak taat dengan aturan-aturannya dalam keluarga dan masyarakat. Ungkapan “nanti akan saya laporkan pada ayah” menjadi ungkapan yang sangat menakutkan kita sebagai anak pada masa kecil. Dengan perlakuan orang tua yang mengandalkan kekuasaan ini anak-anak tidak dibantu untuk menumbuhkan dalam diri mereka gambaran tentang ayah penuh kasih, yang mau mengerti, yang lebih memperhatikan kebahagiaan anak-anaknya daripa lain-lainnya.

Bila kita bertumbuh dalam suasana keluarga seperti itu akibatnya, kita baru akan merasa dikasihi oleh ayah bila kita baik, bila kita belajar, bila kita memperoleh nilai yang tinggi di sekolah dan sebagainya. Dengan demikian kita mendapatkan gambaran bahwa kasih ayah itu bersyarat. Untuk dikasihi, saya harus memenuhi syarat itu.

Dalam belajar menghayati Allah sebagai pelindung, pencipta kita, kita akan terpengaruh oleh budaya keluarga dan masyarakat yang memandang ayah sebagai gambaranNya. Sebenarnya gambaran Allah bukanlah seperti kelakuan ayah tadi, melainkan Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pemberi. Hal ini kita ketahui dari Kitab Suci masing-masing agama.

Untuk itu kita perlu berpedoman pada prinsip teguh. Prinsip itu adalah bahwa pertumbuhan hidup rohani (spiritual) kita akan menjadi kerdil bila kita membiarkan kebudayaan, pendidikan dan konsep masa kecil kita mengaburkan gambaran Allah yang benar sebagai maha kasih. Kekaburan itu membuat kita tidak merasa ama, melainkan takut karena merasa bersalah terus.

......................2. Gambaran keliru tentang diri kita

Wednesday, May 03, 2006

LANDASAN TEOLOGIS TENTANG RELASI

LANDASAN TEOLOGIS TENTANG RELASI

Sejak lahir, manusia adalah insan fana yang tidak pernah merasa lengkap maka ia selalu meraih sesuatu di luar dirinya lewat relasi dengan orang-orang lain. Jika ditinjau dari sudut pandang kehidupan interpersonal, kehidupan religius merupakan suatu pencarian relasi dengan yang ilahi. Perjumpaan antara manusia dengan manusia lain yang hidup dalam Tuhan, dalam suatu perjumpaan religius akan meningkatkan nilai hidup individualnya, serta memperluas makna dirinya di tengah kehidupan.

Berikut ini ada empat pokok pikiran tentang relasi dalam proses tumbuh kembang individu manusia. Pertama, Tuhan menciptakan manusia untuk suatu relasi kemanusiaan maupun relasi ilahi. Kedua, teladan para nabi merupakan teladan terbaik relasi kemanusiaan dan relasi ilahi. Ketiga, kebutuhan akan interaksi personal dan keraguan terhadap makna dan peran relasi dengan Tuhan demi kebahagiaan hidupnya. Keempat, Tuhan mengejawantahkan suatu relasi dengan manusia lewat pertolongan manusia lain.

(1) Tuhan menciptakan manusia untuk suatu relasi kemanusiaan maupun relasi ilahi.
Tuhan menciptakan manusia yang memiliki kapasitas untuk menggalang relasi kasat mata dengan orang lain, sekaligus kapasitas untuk menggalang relasi tidak kasat mata dengan diriNya. Semua orang memiliki kebebasan yang dianugerahkan Tuhan untuk memilih berelasi atau tidak dengan Tuhan dan orang lain. Ciri pokok relasi ditawarkan Tuhan kepada manusia adalah relasi rahmat.

Tujuan teologi relasi adalah menyadarkan manusia tentang relasinya dengan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta raya. Tiada suatu bagian pun dari kehidupan yang berada di luar jangkauan relasi dengan Tuhan sebagai Pencipta alam semesta raya. Pada perspektif demikian, teologi tentang relasi memandang kehidupan sebagai suatu proses peraihan identitas yang menyangga dan menggerakkan manusia menuju pemenuhan diri paripurna. Tujuan akhir dari relasi yang benar adalah peraihan kehendak Tuhan di tengah kehidupan riil sehari-hari.

(2) Teladan para nabi mencerminkan teladan terbaik relasi kemanusiaan dan relasi ilahi.
Para Nabi, Guru, Rasul atau pendiri agama seperti Yesus Kristus, Sidharta Gautama, Nabi Muhammad SAW dan para pendiri agama lainnya telah menghadirkan teladan terbaik perwujudnyataan relasi paling bermakna dengan Tuhan dan sesama. Mereka mengekspresikan teologi tentang relasi dengan mendukung para pengikutnya untuk mempraktekkan kebenaran yang dibeberkan di tengah kehidupan sehari-hari.

(3) Kebutuhan akan interaksi personal dan keraguan terhadap makna dan peran relasi dengan Tuhan demi kebahagiaan hidupnya
Banyak orang mencoba mengekspresikan keunikan diri masing-masing dengan berbagai cara. Tidak sedikit orang ingin memisahkan diri dari orang-orang lain karena ternyata mereka menuai berbagai masalah justru dalam kedekatan mereka dengan orang-orang lain. Perlukaan emosional tidak jarang terjadi lewat interaksi antar insan.

Kendati demikian, manusia mengakui adanya kebutuhan akan relasi. Sejarah membuktikan betapa individu menjalani kehidupan di tengah keluarga, di tengah suku, di tengah komunitas. Justru pengakuan atas adanya kebutuhan akan relasi atau kebutuhan untuk hidup bermasyarakat ini melandasi pemikiran tentang hukuman pengasingan yang dijatuhkan untuk orang-orang yang melanggar hukum. Memang individu berada dalam medan tarik-menarik simultan atara separasi (pemisahan) dan relasi (kebersamaan).

Manusia tidak jarang mengingkari peran relasi ilahi dalam memenuhi kekosonga-kekosongan di tengah kehidupannya. Konflik-konflik yang terjadi dalam relasi antarinsan, konflik internal yang terjadi karena kesalahan masa lampau atau karena problem yang berkaitan dengan tujuan di masa depan, bisa senantiasa memurukkan manusia. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit manusia justru mencari justifikasi dalam dirinya sendiri. Namun ketika dia menyadari betapa justifikasi diri tidak lagi bisa memenuhi kekosongan-kekosongan yang ia hayati, dia mengembangkan ketergantungan dengan orang-orang lain, mencari manusia penyelamat di tengah keberadaan orang tua, kelompok teman sebaya, kelompok teman sejawat dan paguyuban.

(4) Tuhan mengejawantahkan suatu relasi dengan manusia lewat pertolongan manusia lain.
Tuhan memakai manusia yang berelasi dengan sesamanya sebagai jalan untuk pengungkapan diriNya. Memang manusia bisa mencari perjumpaan ilahi dengan suatu cara langsung nan vertikal. Namun pada perspektif lebih relasitik, relasi antarmanusia acapkali terbukti merupakan saluran yang memungkinkan seseorang menerima kesan-kesan dan konsep-konsep tentang yang tidak kasat mata dan yang transenden. Interaksi kemanusiaan acapkali justru hadir lebih dahulu, kemudian disusul kehadiran pengalaman relasi ilahi yang dipersepsi lewat tataran kemanusiaan.

Percakapan antarinsan yang sukses mencakup akseptasi keberbedaan (otherness) sekaligus kebersamaan (togetherness). Dalam relasi aktif, manusia berpartisipasi dalam suatu kemitraan dengan individu lain. Maka pemenuhan psikologis dan religius tidak hanya terjadi pada salah satu insan, melainkan kedua insan sekaligus. Pemenuhan tersebut terjadi dalam dialog. Yaitu pengalaman kebersamaan lewat aktivitas wicara. Dalam dialog yang asali, orang-orang berkomunikasi secara terbuka, jujur dan menyumbangkan bagian dari kehidupan rohaninya. Gambaran demikian merupakan bentuk pertolongan Tuhan dalam menumbuhkembangkan manusia lewat manusia lainnya.


Sumber: dari bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, Dosen STFT Widya Sanana Malang.

Sunday, April 30, 2006

LANDASAN FILOSOFIS INDIVIDU MANUSIA

LANDASAN FILOSOFIS INDIVIDU MANUSIA

Pembentukan diri oleh diri sendiri mengisyaratkan bahwa terlebih dahulu seseorang perlu memahami landasa filosofis tentang individu diri manusia. Seorang konselor, Richard Dayringer meringkaskan sembilan butir permikiran penting untuk memahami individu manusia seperti berikut ini:

1. Individu memiliki nilai (kebaikan) dan martabat intrinksik. Inilah implikasi dan citra Tuhan dalam diri manusia. Hal ini tampak dalam kemampuan berkomunikasi secara cerdas, mentransendensi diri, merenungkan masa depan, memilih secara bertanggung jawab dan memiliki rasa humor.

2. Individu merepresentasikan nilai tertinggi. Manusia merepresentasikan nilai tertinggi yang melampaui nilai-nilai lain, semisal nilai institusional dan nilai moralistik. Individu-individu tidak bisa dinilai berdasarkan kualitas jiwani mereka atau berdasarkan status sosial mereka. Mereka seyogiyanya tidak saling memanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan masing-masing. Justru niscayalah mereka berelasi dengan cara yang dirangkum olen Martin Buber dalam ungkapan I and Thou (Aku dan Engkau Saudaraku). Manusia merupakan makhluk yang merupakan ciptaan tertinggi Tuhan.

3. Individu-individu memiliki kebutuhan-kebutuhan. Setiap insan punya kebutuhan tertentu yang melekat pada dirinya. Ada banyak pendapat yang merangkum katalog kebutuhan (motif, dorongan) itu. Daftar tersebut mungkin merangkum kebanyakan kebutuhan dasar: udara, minuman dan makanan, kebersihan, persekutuan antar insan dan komunikasi, cinta kasih dan seksual. Hal-hal itu tidak bersifat opsional, karena diperlukan untuk survivalitas dan kesejahteraan hidup wajar. Hal-hal yang opsional adalah cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu. Maslow memeringkatkan berbagai kebutuhan dalam suatu hierarki. Pada tataran paling dasar ada kebutuhan untuk survivalitas, mencakup udara, air, makanan, kebutuhan fisiologis, seks, komunikasi dan istirahat. Pada tataran di atasnya ada kebutuhan akan keamanan, mencakup kebutuhan-kebutuhan yang lahir dari keinginan menepis rasa takut, kebutuhan keamanan fisis, kebutuhan untuk menjaga diri dan kebutuhan ekonomis. Pada tataram berikutnya terdapat kebutuhan sosial, mencakup kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan pada perspektif individu, kelompok, korporasi. Pada tataran berikut terdapat kebutuhan akan harga diri, mencakup pengakuan, penghayatan diri sebagai kemandirian, kebutuhan akan status di tengah masyarakat dan kebutuhan akan orang-orang lain. Pada puncaknya terdapat kebutuhan untuk beraktualisasi diri.

4. Individu-individu mempunyai tujuan-tujuan. Manusia tidak bisa dimengerti secara psikologis lepas dari tujuan-tujuan individualnya, karena proses mental dan aktivitas fisis yang selalu dihasilkannya selalu berorientasi ke tujuan yang bagi si manusia terasa menawarkan berbagai janji bernilai.

5. Individu-individu saling berelasi. Relasi mencerminkan kebutuhan akan interaksi yang memungkinkan individu merealisasikan kepribadiannya. Seperti dikatakan Paul Johnson, sangat sulit dibayangkan bagaimana kepribadian manusia akan berkembang di tengah isolasi diri dari orang-orang lain.

6. Individu memiliki kemerdekaan. Setiap insan punya hak inheren untuk membuat keputusan dan melangsungkan suatu kehidupan pribadi. Individu memiliki potensi untuk memilih secara arif dan menjalani kehidupan yang diarahkan oleh dirinya sendiri, dipenuhi oleh dirinya sendiri dan ditransendensi oleh dirinya sendiri. Bahkan manusia punya hak untuk melakukan kesalahan, kendati hak itu bisa dikontrol oleh institusi sosial, seperti pemerintah.

7. Individu mempunyai tanggung jawab. Setiap insan bertanggung jawab atas pilihan pribadi yang telah dibuatnya. Manusia bertanggung jawab atas kehidupannya dan bertanggung jawab terhadap Tuhan serta orang-orang lain atas setiap keputusan yang dibuatnya. Maka sesungguhnya manusia bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam relasi dengan Tuhan dan orang lain, serta bertanggung jawab untuk memelihara relasi itu.

8. Individu bertumbuh kembang karena cinta kasih (kasih sayang). Selama berabad-abad, cinta kasih (kasih sayang) selalu menjadi tema warta para nabi, para guru dan para penyair di tengah dunia. Kini para saintis perilaku meyakini betapa kehidupan tanpa cinta kasih (kasih sayang) adalah cacat fatal. Anak yang tak diinginkan, kenakalan remaja, neurosis pada orang dewasa dan problem insan lanjut usia, semuanya merepresentasikan keputusasaan karena kondisi miskin cinta kasih (kasih sayang).

9. Individu mempunyai jalan menuju relasi ilahi. Seiring dengan kian diraihnya pemahaman tentang relasi antar insan, manusia pun makin mungkin menyadari adanya potensi untuk menumbuhkembangkan relasi personal dengan Tuhan. Rasa bersalah atau rasa berdosa bisa memotivasi manusia mencari relasi seperti itu, karena pengampunan Tuhan yang selalu terangkum di dalamnya.

Pemahaman kesembilan butir landasan filosofis individu manusia tersebut di atas akan membawa kita pada penyadaran terhadap potensi dan kekuatan yang kita miliki untu bertumbuh kembang. Ia merupakan modal pendukung yang amat positif dalam proses pembentukan diri oleh diri sendiri.

======
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang.

Friday, April 28, 2006

MENYADARI KECEMASAN DALAM HIDUP

MENYADARI KECEMASAN DALAM HIDUP

Kecemasan tidak mungkin tidak ada dalam diri kita. Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Sebenarnya apakah kecemasan itu?

Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 2001) diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.

Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol.

Dalam konseling dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah kecemasa alamiah (natural anxiety), kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety)), dan
kecemasan luhur (sacred anxiety).

Kecemasan Alamiah (natural anxiety)

Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan. Di sinilah diri kita menghasilkan respon terhadap bahaya atau ancaman riil. Namun kecemasan alamiah tersebut merupakan hal yang wajar dan bisa diterima akal budi.

Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)

Kecemasan mmelumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.

Kecemasan Luhur (sacred anxiety)

Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.

Pertanyaannya krusialnya adalah apakah kecemasan alamiah harus diterima dan dihadapi atau justru dihindari?
Sebagai manusia rasional kita seyogiyanya menerima dan menghadapinya seturut kemampuan manusiawi dan disertai permohonan bantuan rahmat Allah (orang beragama).

Jika kecemasan-kecemasan ini dihindari atau diabaikan, maka mereka bisa menjadi kekuatan destruktif yang melumpuhkan seluruh proses pembentukan diri kita.

Yang penting kemauan kita untuk bertumbuh kembang secara utuh kita mesti membangun relasi yang baik dulu dengan diri kita sendiri, orang lain dan dunia kehidupan itu. Hal inilah amat membutuhkan komitmen, tanggung jawab dan disiplin yang tinggi.

(Sumber: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, Sinar Harapan: 1996; Kamus Konseling Drs Sudarsono, 2001; dan bahan-bahan kuliah dosen Limas Sutanto di STFT Widya Sasana Malang)

Thursday, April 27, 2006

MENGEMBANGKAN EMOSI DASAR POSITIF

Emosi adalah gerakan atau ungkapan perasan yang keluar dari dalam diri seseorang. Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), semosi digambarkan sebagai suatu keadaan yang komplek dari organisme perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditandai oleh perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk perilaku tertentu, erat kaitannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi dan pernafasan.

Dari pengertian tersebut, emosi merupakan sebuah reaksi kita ketika berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup kita. Reaksi tersebut disadari atau tidak mempunyai efek entah bersifat membangun entah merusak.

Bisa dikatakan bahwa emosi sebenarnya bukan cuma sebagai reaksi terhadap keadaan pada diri maupun luar diri kita, tetapi juga merupakan upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).

Secara umum emosi dikategorikan menjadi dua jenis yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif.

Emosi dasar positif adalah perasaan berupa sukacita (joy), yakin/ percaya (trust/ faith), pengharapan (hope), syukur (praise), berbela rasa (compassion), mau mengerti dan menerima (willingness to understand and to accept). Emosi dasar positif ini sering disebut sebagai kekuatan biofilik, (cinta kehidupan, pro vita).

Sedangkan emosi dasar negatif adalah perasaan berupa dengki, dendam, iri, kejam, menolak dan tak mau mengerti. Emosi jenis ini merupakan kekuatan nekrofilik karena dapat menjadi kekuatan yang bersifat merugikan dan mematikan.

Individu yang mau bertumbuh kembang dan bertransformasi diri seyogiyanya mengembangkan emosi dasar positif dan melawan emosi dasar negatif. Pengembangan perasaan sukacita, yakin/ percaya, pengharapan, syukur, berbela rasa dan mau mengerti serta menerima, harus mempunyai dasar dan sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini. Artinya emosi dasar positif harus dikembangkan secara riil, sadar, responsif dan rasional.

Agar kita dapat bertumbuh kembang menuju pribadi utuh, kita seyogiyanya memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam menyadari dan menumbuhkan emosi dasar positif ini. Dengan demikian, perbaikan kecil yang terus menerus dapat berlangsung karena didukung oleh emosi dasar positif yang pro kehidupan.


==============
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang.

Wednesday, April 26, 2006

"CONTINUAL IMPROVEMENT"

"CONTINUAL IMPROVEMENT"

Pembentukan diri adalah proses tumbuh kembang diri dalam segala bidang berdasarkan interaksi dan relasi kita dengan diri kita, orang lain dan dunia sekitar kita. Interaksi dan relasi kita entah dalam bentuk sekecil apa pun akan turut ambil bagian dalam peroses itu.

Proses tumbuh kembang merupakan upaya yang dapat kita lakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Untuk itulah, sekecil apapun bentuk pengalaman atau peristiwa hidup dan dunia sekitar kita turut berinteraksi dan berbicara kepada diri kita. Everything speaks to us, segala sesuatu berbicara kepada kita, namun apakah kita mendengar dan menanggapinya.

Jalan terbaik pada pembentukan diri kita sendiri dan oleh kita sendiri adalah melalui perbaikan kecil secara terus menerus. It seems insignificantly, but it must be continual and neverending. Kelihatannya kecil dan remeh, tetapi ia harus terus menerus dan tidak pernah berakhir.

Menjadi penting bagi setiap orang agar menyiapkan mentalnya dengan disposisi batin perlunya perbaikan kecil secara terus menerus. Setiap orang hendaknya terarah kepada perbaikan-perbaikan kecil dalam diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar. Dengan demikian proses tumbuh kembang sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Dengan kata lain kehidupan itu sendiri akan menjadi lebih baik. The longer and the old we are will be wiser according to values we live. Semakin lama dan tua kita semakin bijaksana sesuai dengan nilai-nilai universal yang kita yakini.

Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, dosen, Limas Sutanto, ketika saya masih kuliah di STFT Widya Sasana Malang.

Monday, April 24, 2006

MANUSIA DAN RELASI

MANUSIA DAN RELASI

Manusia menuai problem karena relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Pemecahan masalah manusia pula sesungguhnya berintikan pada perubahan menuju perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia.

Dalam pendidikan, sesungguhnya bila dikatakan pembelajaran berbasis kompetensi berarti berpusat pada cura personalis. Cura personalis adalah perhatian pada manusia sebagai pribadi. Itu berarti ia berkaitan dengan relasi.

Pada hakekatnya relasi antar manusia seyogiyanya bukan relasi subyek-obyek, atau mengobyekkan manusia yang lain, tetapi relasi dimana antar manusia secara bersama-sama bertumbuhkembang (relasi subyek-subyek).

Dalam bertumbuhkembang kita membangun dulu relasi dengan diri sendiri. Memang tahu bahwa relasi merupakan inti pertumbuhkembangan, tapi belum tentu gampang melaksanakannya. Memang orang dapat menuai masalah karena relasi tetapi dapat pula sembuh karena relasi.

Maka hal yang penting dalam membentuk atau menumbuhkembangkan diri adalah perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar.*

(Sumber: dari bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang)

MEMBENTUK DIRI (SELF FORMATION)

MEMBENTUK DIRI (SELF FORMATION)

Pengantar
Globalisasi bukan tidak mungkin dapat menghilangkan identitas pribadi, komunitas atau bahkan bangsa dan negara dalam tataran yang lebih luas. Untuk itu sebuah landasan filosofis dan teologis tentang tumbuh kembang pribadi manusia dibutuhkan. Landasan filsosofis dan teologis dapat memberikan berbagai pandangan yang lebih kompleks dan dalam perkembangan globalisasi sekarang ini. Meskipun kompleks pasti ada prinsip-prinsip yang harus dipegang seperti yang termaktub dalam karya tulis ini.

Demikian pula, berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari, perjalanan hidup kita berawal dari satu titik (kelahiran) menuju ke titik akhir (kematian). Selama perjalanan hidup, kita tidak menyadari bahwa semua pengalaman dan peristiwa hidup yang kita alami merupakan unsur-unsur yang membangun atau merusak pembentukan diri kita (self formation).

Persoalannya adalah tidak semua orang menyadarinya. Kadangkala semua peristiwa atau pengalaman hidup kita disadari atau tidak biasanya berlalu begitu saja. Dalam tulisan “pembentukan diri” (SELF FORMATION) ini, saya coba menggagas ide pembentukan diri secara holistik yang dapat dipraktekkan oleh setiap orang secara sendiri dan mandiri

Selamat membaca dan menikmati.
Related Posts with Thumbnails