Monday, December 29, 2008

FAKTOR-FAKTOR MENJADI SUKSES DI KANTOR

Semua orang pasti ingin menjadi orang sukses dalam hidupnya. Apalagi sukses dalam karir atau pekerjaannya. Untuk mencapai kesuksesan tentunya tidak akan mudah. Berikut ini adalah beberapa faktor yang harus anda miliki agar menjadi orang yang sukses.

Pertama, hilangkan semua pikiran negatif anda. Rasa gugup pasti akan mendera siapa saja. Biasanya rasa gugup inilah akan timbul rasa khawatir gagal. Jika anda membayangkan hal positif maka kemungkinan anda akan sukses semakin besar. Namun, jika anda berpikiran negative, maka kemungkinan anda akan mengalami kegagalan.

Kedua, hilangkan kebiasaan mengeluh atau menggerutu. Salah satu hambatan untuk sukses adalah kebiasaan mengeluh dan menggerutu. Kebiasaan menggerutu terkadang anda lakukan baik sadar maupun tidak sadar. Contohnya, ketika anda diberi pekerjaan oleh atasan, lalu dalam hati anda berkata, “Aduh... yang ini belum selesai masih diberi lagi”. Jika hal ini sering terjadi pada diri anda, cobalah hentikan kebiasaan tersebut.

Ketiga, hilangkan kata-kata seperti “nanti dulu atau tunda dulu”. Sering kali dalam satu hari tugas akan datang silih berganti bahkan hingga menumpuk. Melihat kondisi tersebut, perasaan malas akan langsung menyerang anda. Kemudian, timbullah niat untuk menunda menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Alhasil, tugas anda pun akan terbengkalai. Untuk menyiasatinya, cobalah menyelesaikan tugas-tugas tersebut sedikit demi sedikit. Jika anda adalah seorang yang pelupa, coba buat daftar tugas yang harus anda lakukan. Berikan setiap tanda apabila tuas tersebut itu selesai.

Keempat, salah satu kunci meraih meraih kesuksesan adalah dengan cara selalu fokus. Fokus dalam mengerjakan suatu tugas di kantor memang cukup sulit. Banyaknya beban pikiran dalam diri anda dapat menyebabkan anda kurang fokus terhadap suatu tugas kantor. Oleh sebab itu, cobalah anda bersikap profesional. Pisahkanlah waktu dan pikiran untuk urusan tugas kantor dan masalah pribadi anda. Lalu berikanlah konsentrasi yang lebih pada tugas kantor anda agar hasilnya lebih memuaskan.


Keenam, jadilah orang yang selalu terbuka terhadap pendapat orang lain. Biasanya orang lain lebih bisa menilai kekurangan dan kelebihan anda. Oleh sebab itu, belajarlah menerima pendapat orang lain. Jika anda dinilai kurang oleh orang lain, perbaikilah kekurangan anda. Niscaya, cepat atau lambat kesuksesan akan berhasil anda gapai (INO/Kompas/ Klasika/19/12/2008).

Wednesday, December 24, 2008

PABRIK TALENTA

PABRIK TALENTA

Seorang guru pernah mengatakan kepada saya bahwa mengasah manusia bekerja jauh lebih mudah daripada mengasuh-asah murid di sekolah. Alasannya, bibit yang masuk ke perusahaan adalah bibit-bibit pilihan, sementara yang masuk ke sekolah, masih tercampur aduk. Hal ini memang ada benarnya. Namun, teman saya ini lupa bahwa mengajar di sekolah ataupun di universitas, seperti yang saya alami sendiri, sangat dimudahkan oleh niat mahasiswa untuk belajar dan untuk lulus ujian, sehingga si pengajar biasanya lebih punya power.


Di perusahaan, terasa betul betapa manusia dewasa ini punya pilihan untuk belajar ataupun tidak belajar, serta ingin menentukan cara belajarnya sendiri. Sarana pelatihan, “sharing knowledge” maupun seminar-seminar yang sudah susah-susah diupayakan dan diselenggarakan oleh perusahaan untuk mengembangkan talenta, tak jarang disepelekan. Sebagai fasilitator pelatihan di perusahaan, teman saya geleng-geleng kepala bila melihat sikap-sikap manusia dewasa yang terlihat tidak bersemangat lagi untuk belajar, seperti titip absent, banyak bercanda, dating terlambat, merayu trainer untuk menyelesaikan sesi lebih cepat, sibuk ber-sms, menelepon berlama-lama, ataupun sengaja memperpanjang-panjang waktu istirahat.

Bila bicara mengenai pabrik talenta, banyak orang langsung menarik nafas panjang dan mengisyaratkan ‘frustrasi’. Mulai dari yang lemot, sampai yang tidak ada motivasi. Singkat kata, di samping kesulitan fungsional kita juga menghadapi kesulitan vitalitas, dari yang ingin memperkaya aset maupun yang mau dijadikan aset. Sebagai akibat, banyak manajemen perusahaan yang kemudian memutuskan untuk “membeli jadi” saja orang bertalenta dan menomorduakan pengembangan sumber daya manusia di tempat kerjanya.


Membangun talenta bukanlah hal yang baru. Selain itu, istilah talenta bukanlah ditujukan hanya kepada orang-orang yang berbakat spesial (baca: gifted), yang populasinya hanya seperberapa persen dari populasi dunia. Adanya ‘welders’ Indonesia alias tukang las bersertifikat yang bekerja secara global, bukan hal yang terjadi kemarin sore. Tukang kayu yang mumpuni secara teknis, dan bekerja rapih dan teliti, juga adalah individu bertalenta dan bisa membawa devisa negara. Keadaan sekarang di mana ketersediaan orang bertalenta tidak seimbang dibandingkan dengan kebutuhannyalah yang menyebabkan kita tidak bisa berlama-lama menunggu agar talenta sumber daya manusia kita matang.

Kesulitan pembinaan talenta perlu kita sikapi secara optimis, terutama karena jumlah manusia di negara kita yang demikian banyak, sehingga menggambarkan potensi kekuatan ‘human capital’ yang tidak terhingga. Bukankah kita sudah membuktikan terciptanya kampung pengrajin tas di Tanggulangin? Bayangkan bila kemudian di salah satu kampung kita, berkembang keterampilan IT yang hebat, sehingga bisa menelorkan programmer-programmer kelas dunia seperti programmer asal Bangalore, India.


Gantung Standar yang Super-Tinggi

Organisasi yang sanggup menelorkan manusia bertalenta, biasanya mempunyai standar kinerja yang menuntut individunya bekerja mati-matian untuk mencapai presisi dan keunggulan kinerja, tidak tanggung-tanggung. GE adalah contoh perusahaan yang tidak ragu-ragu menuntut para top manajemennya untuk berkinerja lebih. Perusahaan ini juga menjunjung tinggi nilai-nilai profesi yang distandarkan dan senantiasa diujikan ke setiap eksekutif. Tidak lulus ujian berarti keluar dari perusahaan. GE juga adalah contoh perusahaan yang memperhatikan dan melakukan pendekatan pada setiap individu di perusahaan secara utuh dan unik, sampai kepada kesejahteraan keluarganya. “Tidak ada formula yang general untuk membentuk talenta individual”, demikian ujar CEO General Electrics.


Dapatkan Hatinya Dulu


Salah satu hal yang sering menghambat dalam pengembangan talenta adalah bila kita melihat talenta sebagai sesuatu yang melulu vocational, sehingga fokus kita hanya memompakan ilmu dan keterampilan pada individunya. Saat individu dinilai seharusnya ‘sudah lulus’ dan ‘bisa dilepas’, pada kenyataannya tak jarang kita frustrasi sendiri bila kita tidak melihat pembelajaran yang diberikan membuahkan hasil yang diinginkan. Ternyata, kita masih sering lupa bahwa individu yang bertalenta adalah individu yang selain pandai, juga bermotivasi tinggi, berinisiatif dan kuat dalam menyambut tantangan. Artinya, latihan keterampilan teknis saja, sama sekali tidak menjamin terbentuknya talenta yang kita inginkan. Individu bertalenta, sudah hafal mati prosedur kerjanya, sudah menikmati seni berprofesinya, bahkan mempunyai semangat yang memancar dari kinerjanya, apapun profesinya.


Tentunya kita semua setuju bahwa tanpa perhatian sepenuh hati, individu tidak mungkin menguasai suatu keterampilan sampai tuntas. Adanya ‘passion’, konsenterasi dan fokus-lah yang akan membuat individu bisa memberikan seluruh perasaan dan energinya untuk menguasai suatu keterampilan dan pengetahuan. Jangan anggap sepele pernyataan: “companies neet to not only capture people’s minds but their hearts”. Bila dalam mengembangkan individu kita juga menstrategikan program yang menyentuh hatinya, membuatnya excited, membawa individu merasakan secara langsung, barulah kita bisa lihat pembelajaran membuahkan hasil yang lebih nyata. Saat kita serius melakukan komunikasi efektif dan tidak lelah memacu, mendera, memonitor kemajuannya, barulah pengembangan ‘mindset’ dan prinsip bekerja berkualitas dan profesional akan menyertai pembelajaran yang diberikan.


Dalam mengembangkan pabrik talenta yang efektif, suasana belajar perlu dibuat kondusif. Hubungan psikologis dilandasi trust dan respect antara manajemen dan individu-lah yang juga akan membentuk sikap belajar individu. Individu perlu mendapat kesempatan untuk mengeluarkan ide, berani bereskperimen, berinovasi dan merasa aman bahwa ide dan buah pikirannya akan dihargai dan ditanggapi. Talenta yang optimal hanya ditampilkan oleh individu dewasa yang ‘self directed’ dan tertantang untuk menyandang tanggung jawab lebih. Bila kita sudah memahami bahwa pikiran, pengetahuan, keterampilan manusia bisa berkembang tidak terbatas, mengapa tidak kita bersikeras mengembangkannya mati-matian? (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Kompas/Klasika/22/11/2008).

Tuesday, December 23, 2008

BERANI SUSAH UNTUK SUKSES DALAM KARIR

BERANI SUSAH

Salah satu karyawan di kantor saya, benar-benar sulit mengkontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lubang tutup lubang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang ysng lain, terutama untuk menutupi hutang yang lam. Ketika saya sangat kecewa melihat hal itu bias dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antar kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang “ambil gampangnya”, “instant”, dan tidak mau sedikit bersusah untuk mengerem diri.

Saya terkagum-kagum juga dengan cara mendapatkan hutang yang begitu mudah di saat sekarang. Di zaman ketika saya sangat membutuhkan modal atau uang lebih, rasanya tidak mungkin kita bias dengan mudah mendapatkan pinjaman dari bank atau orang lain, bahkan dengan janji bunga yang relatif rendah. Rupanya perkembangan bisnis jasa sudah demikian pesatnya sehingga masyarakaat “dimudahkan” dan “dimanjakan” oleh solusi-solusi sementara, “fast and easy”, instant, yang tidak prinsipiil lagi.

Ketidaktegasan dalam berdisiplin dan ketidakjelasan dalam aturan, menyebabkan orang mundur maju untuk menentukan apa yang perlu diperjuangkan. Orang jadi enggan meramal, membuat rancangan, berusaha mati-matian dan menentukan hidupnya, alias pasrah, menghidupkan mental yang lemah, mengharapkan hadiah, berhutang, tidak berdaya, bahkan mengemis dan menumbuhkan mental “tidak berani susah”.

Penyebaran informasi yang tidak memadai mengenai semangat berprofesi, keadaan finansial perusahaan atau pun negara, menyebabkan ketidakjelasan menjadi alasan bagi individu untuk bersikap pasrah dan lemah. Sebaliknya, kita masih bisa menemui sekelompok orang-orang yang sangat produktif, “low profile”, tetap sabar, optimis dan gigih dalam lingkungan dengan disiplin kuat. Bisa kita bayang kan betapa beruntungnya orang-orang ini, karena sistem atau organisasi sudah menyuguhkan lingkungan yang kondusif. Bagi kebanyak kita yang justru berada di lingkungan yang tidak kondusif, kitalah motor penggerak dan perlu “in charge” untuk memperkuat diri sendiri.

Bangkit!

Kita masih ingat bagaimana kita menyaksikan tim piala Uber kita dikalahkan oleh tim China. Saya yakin bahwa setiap penonton berbangsa Indonesia, merasa babak belur, dan merasakan sakitnya kekalahan tim kita, yang rankingnya memang jauh di bawah pemain-pemain China itu. Pada saat itu terasa oleh kita bahwa tim Indonesia berspirit “rise and shine” bermental “A”. Pada saat itu kita merasa siap bermain, tidak takut, ingin meng-“combat sukses. Bahkan setelah kalah sekalipun, “rasa” itu masih ada. Tidak ada yang memaki tim piala Uber, tidak ada yang mencerca, semua orang merasa “fight”nya. Rasa-rasanya semangat seperti ini sudah harus kita hidupkan kembali, melihat kesulitan dan persaingan yang ada di dunia bisnis maupun di arena global. Semua “hardware”dan perangkat teknis sudah sama, yang bisa bersaing hanyalah manusianya. Bila manusianya berpotensi dan berkompetisi sama, yang bisa disaingkan adalah mentalnya dan “willpower”nya.

Perkuat “Willpower”

Sikap “tidak ada matinya” tidak bisa kita biarkan mati suri, karena pada akhirnya hal inilah yang menjadi daya saing bangsa. Kekuatan kemauan atau willpower ini adalah kemampuan individu untuk menyulut mental dan mengatakan pada diri sendiri untuk bertahan, kemudian mengeluarkan daya sekuat tenaga bagaikan mesin yang saat mulai bekerja selalu mengambil daya listrik yang lebih besar. Willpower ini adalah pengumpulan energi yang kuat dan besar, yang perlu dikeluarkan sekaligus pada saat kita berada dalam posisi kritis. Pada saat itu kita menyerang titik lemah dalam diri kita, sehinga kita bisa mematahkan ketakutan, keraguan, kecengengan, kelelahan kita untuk untuk sampai pada titik dima kita seolah-olah mempunyai ruang energi untuk melenting dan bergerakdan mendapatkan tenaga untuk maju dan ingin memenangkan situasi.

Kita butuh memelihara willpower ini pada masing-masing individu. Begitu banyak tantangan berat kita hadapi yang membutuhkan mental yang superkuat. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mengencangkan ikat pinggang karena kenaikan harga, melangsingkan badan karena kesehatan, bersaing secara profesi di kancah internasional, super hati-hati dalam kontrol kualitas, mencermati keadaan keuangan yang ketat, meningkatkan kinerja tanpa kenaikan imbalan yang kita harapkan, menghentikan kebiasaan korupsi berbentuk uang maupun waktu, menghentikan memberikan suap demi sikap mental “yang penting cepat beres”.

“Susah” untuk Menang

Kebanyakan orang mendambakan saat-saat di mana kita merasa situasi rileks, aman, positif dan optimis. Namun, kita sering lupa bahwa perlu cara untuk mencapainya dan kita pun perlu tahu resepnya. Bila kita ingin mencapai situasi yang “nyaman”, tentunya kita tidak bisa berharap bahwa orang lain akan memberikannya secara cuma-cuma.

Untuk mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik, kita tampaknya tidak bisa berfokus pada hal-hal material semata karena materi justru sekarang tidak bisa ditandingkan. Seperti prinsip para atlet pelari rintangan, “Run to be good, practice to better, and train to be the best”. Kita perlu mendera diri-sendiri untuk menyetop kebiasaan-kebiasaan buruk dan mengembangkan perilaku yang lebih positif. Tentunya latihan ini akan butuh ‘pengorbanan’, seperti tersiksanya kita berjam-jam antri untuk mendapatkan servis dengan jalan halal, begadang demi terselesaikannya pekerjaan yang sudah dijanjikan, bekerja sambil belajar demi karir yang lebih baik, melakukan hal yang sama ribuan kali, sampai dianggap kompeten, menerima penugasan yang lebih banyak supaya atasan “percaya”, makan lebih tidak enak demi kesehatan dan penghematan, bahkan hilangnya teman karena mempertaruhkan prinsip. Namun, bersamaan dengan itulah kita berhasil menguatkan willpower kita dan bisa mengembangkan mental tahan banting. Efek samping yang didapat dari latihan begini adalah hilangnya rasa bersalah, tumbuhnya keberanian menghadapi kenyataan, penghargaan pada diri sendiri, dan meningkatnya kepuasan dan happiness dalam kehidupan kita. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Kompas/ Klasika/ 21/06/2008)


MENJADI SAHABAT SEJATI

TRIK MENJADI TEMAN SEJATI

Sulit rasanya membayangkan hidup tanpa kehadiran teman di samping anda. Ya, tanpa kehadiran teman, hari-hari anda akan terasa kosong dan hampa. Oleh sebab itu, hubungan pertemanan harus dipupuk dengan baik. Apakah anda sudah merasa menjadi teman sejati bagi teman anda? Untuk lebih jelasnya simaklah ciri-ciri teman yang sejati berikut ini.

Pertama, teman yang sejati adalah teman yang bersedia mendengarkan segala keluh kesah temannya. Oleh sebab itu, jadilah pendengar yang baik untuk teman-teman anda. Jika mereka membutuhkan masukan, berilah pendapat anda tanpa bersikap menggurui. Lalu, pastikan teman anda mau mendengarkan masihat anda.

Kedua, belajarlah menghargai segala macam perbedaan sifat teman anda. Ingat setiap orang memiliki berbagai kepribadian yang berbeda. Cobalah mengerti bagaimana karakter teman anda. Jika anda mengalami perbedaan pendapat, selesaikanlah masalah tersebut dengan baik-baik. Sebab, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.

Ketiga, jagalah baik-baik kepercayaan yang telah diberikan oleh teman anda. Jangan pernah sekalipun anda membocorkan rahasia penting teman anda. Apalagi berupa aib. Banyak kejadian teman berubah menjadi musuh karena telah membocorkan rahasia penting temannya.

Keempat, jadilah teman yang selalu siap memberikan dukungan. Jika teman anda melakukan kesalahan, jadilah orang pertama yang menyemangatinya. Jika perlu sebisa mungkin anda jangan menyalahkannya. Berilah teman anda motivasi agar dapat bangkit dari kesalahannya.

Kelima, jangan jadikan teman anda sebagai saingan terberat anda. Hilangkan perasaan iri atas keberhasilan teman anda. Jadikanlah rasa iri tersebut sebagai cambuk bagi anda agar berbuat lebih baik lagi. Lalu, jangan lupa ikutlah berbahagia dengan keberhasilan yang telah dicapainya.

Keenam, jangan pernah ragu untuk minta maaf kepada teman saat anda melakukan kesalahan padanya. Setelah itu, berusahalah perbaiki kesalahan anda. Begitu pula sebaliknya, berikanlah maaf dan lupakan kesalahan teman anda jika ia bersalah. (INO/Kompas/Klasika/21/12/2008)

Sunday, December 21, 2008

BERPOLITIK DI TEMPAT KERJA

POLITIK KANTOR

Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan “berpolitik”. Di tempat kerjanya, berkembang “klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup. Hubungan tersebut sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagai gossip dan fakta, menunjukkan sikap subyektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi pemilihan dan penunjukkan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaah…, kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.

Politik kantor yang sering ditangapi orang dengan sikap “alergik” pada kenyataannya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” terutama di depan atasan, bahkan tega “menyingkirkan” semua orang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai karena ia pandai sekali memanfaatkan “power”, dan bisa membuat ketergantungan atasan, atau perusahaan kepadanya, sehingga “timing” yang tepat, ia bisa unjuk gigi alias bermain dengan bargaining power-nya.

Mengapa situasi “politik” seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada di luar permainan? Menurut ahlinya, politik kantor ini menjadi kelihatan lebih nyata pada lembaga yang kekuatannya SDM-nya tidak seimbang, misalnya banyak yang produktif sementara banyak yang bermalas-malasan. Ada istilah “like and dislike”yang muncul karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak nyaman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang sama sekali tidak mau “bermain” dan tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subyektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.

Tahu Apa Yang Kita Mau

Teman saya, yang bekerja di sebuah perusahaan yang berukuran sedang merasa bahwa ia juga harus melakukan kegiatan lobby, mengikuti kegiatan-kegiatan minum teh bahkan mempersuasi pengambil keputusan, ketika ia berusaha menjalankan rencana mengubah operating system jaringan informasi di perusahaannya. Melihat bahwa ia benar-benar berjuang demi penggantian sistem tanpa berniat mendaptkan kedudukan, kedekatan dan power bagi dirinya, saya lantas menanyakan hal apa yang ia bela mati-matian. Dengan santai ia menjawab bahwa yang ia bela adalah sekedar kinerja pribadinya. Tanoa kasak-kusuk, bujuk-membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, ia tahu tidak mungkin ia berhasil menjalankan perubahan yang menyulitkan di perusahaan tanpa adanya dukungan. “Sebetulnya saya tidak idealis-idealis amat. Saya tahu bila penerapan sistem ini gagal, karir saya akan terhambat”.

Untuk survive di lingkungan organisasi, kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau kontrol terhadap situasi. Namun, berdiam diri, dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan sistem yang ada, memang hampir tidak mungkin. “Kita perlu tahu di mana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun bisa me-‘licin’-kan upaya kita melalui pendekatan” demikian ungkap teman saya. Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulatif dan curang, me-lobby , mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negatif seperti yang kita kenal misalnya “sistem kodok”, menyembah ke atas menendang ke bawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.

Bertindak Halal Tanpa Menghalalkan Segala Cara

Ketika dalam suatu rapat, CEO tempat saya bekerja mengumumkan bahwa rekrutmen di perusahaan ini menganut sistem keluarga dan pertemanan, saya baru memahami bahwa di dalam berorganisasi ada realitas berpolitik yang perlu dicermati. Hal iini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci dan siapa sekadar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan masa kecil, almamater, kesamaan pandangan meupaun ideologi biasanaya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun di organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitik pun memiliki pemetaan dan perencanaan yang mapan.

Dari pengamatan para ahli, orang-orang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, mereka juga “politically savvy”. Orang-orang ini tahu berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasannya agar sukses. Bersamaan dengan upaya itu, seorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu “tampil” di rapat-rapat penting, tahu mendekati “orang-orang kunci”, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagai “team player”.

Berproduksi itu Mutlak, Berpolitik itu Cara Bergaul

Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai me-lobby dan berpolitik, sementaranya produksinya “kosong”, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita dalam berproduksi merupakan modal agar kita bisa diperhitungkan dalam peta organisasi. Individu yang produksinya di atas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekkan cara gaul murahan seperti bergosip, menekan, menyalahgunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Kompas/ Klasika/ 28/06/2008)

Saturday, December 20, 2008

organisasi Pembelajar dan Semangat Pengembangan Diri

ORGANISASI PEMBELAJAR

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu terlalu “praktis”, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen kepada karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut dalam acara kick-off program menanyakan pada saya mengenai “agenda” top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan “learning organization” dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk memintarkan karyawan ini masih dipandang aneh.

Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekadar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi learning organization. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai learning organization karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Menurut para ahli, In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?

Organisasi Pembelajar: “Shared Experiences”

Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-bench mark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang terkontrol dan kata-katanya tidak sekadar “asbun” (asal bunyi), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait “lesson learned” dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan keterampilan juga bisa ditularkan pada orang lain. Suasana dalam organisasi pembelajar tidak muncul dalam suasana “sinau” (belajar intensif, bahasa Jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana kalau ...”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori.

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang menembus divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi dan sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus.

Senantiasa Tumbuhkan Aura “Waspada”

Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya di perusahaan kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir: “ Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang muda-muda saja yang mempelajarinya”. Sikap “layu” inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi.

Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa ia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Di sinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.

Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit

Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas customer service-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah “brutal facts” dan “bad news” yang bertubi-tubi dan dan membuat semua orang shock, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk belajar dan mengembangkan diri.

Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informasi, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam proses pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan belajar yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/EXPERD/Kompas/Klasika/26/07/2008).

Friday, December 19, 2008

Berniat Benar, Bergerak, Bertindak

BERJIWA PEMENANG

Tanpa menggunakan alat pengukur yang reliable, kita semua bias membedakan “rasa” di dalam dada kita saat melihat atlet Indonesia di halaman muka Kompas yang memamerkan medalinya dari ajang olimpiade, disbanding dengan melihat foto model koruptor yang sedang dalam proses “didandani”. Rasa yang “melambung” bila masuk dalam situasi “pemenang” dan sebaliknya rasa “terpukul” dalam situasi “pecundang” sangat mudah kita bedakan.

Saat situasi “pecundang” lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bias tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bias mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi Negara yang sulit begini, baik kondisi moral maupun material, mau tidak mau media massa memberitakan realita yang membuat kita sulit menepuk dada kemenangan. Lebih kecut lagi, bila kita sedang tidak beruntung, dan bertemu dengan individu berbangsa lain, yang dengan sinis membeberkan kelemahan bangsa kita, seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, komsumerisme orang-orang berduit, lemahnya solidaritas dan korupsi yang merajalela. Menghadapi situasi ini, berat rasanya bias “merasa menang”, mengangkat dagu dan bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasaa terpuruk terus, dan menuggu terus sampai keadaan Negara dan ekonomi lebih baik, lebih bersih dan lebih makmur?

Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja kita dalam porsi yang lebih mikro, misalnya di perusahaan, dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing bisnis dengan negara lain. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-“pecundang”-an dalam rasa. Vince Lombardi, seorang coach american football legendaris tahun 50-an mengumandangkan: “winning isn’t everything, it’s the only thing”, sementara kita di sini masih sibuk dengan rasa cemas karena semangat korupsi yang tidak kunjung padam, tidak meyakini bahwa bahwa pembayaran pajak akan kembali kepada kesejahteraan rakyat, merasa sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyukan perasaan “kalah” dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.

Pemenang yang Sehat, Memperhitungkan Kekalahan

Teman saya, anak sulung harapan keluarga, selalu “dimenangkan” oleh orang tuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik di dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainya. Keadaan menang terus-menerus ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapu aturan dan konsekuensinya, alias, “tidak mau kalah atau mengalah”. Teman kita ini memang sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kelah. Orang seperti ini bahkan ada yang bisa menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.

Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendaptkan penghargaan, menghindari rasa malu, biasanya tidak bisa mengatur energi, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Mungkin kita masih ingat betapa petenis juara, John McEnroe, yang mengekspresikan kemarahannya dalam banyak situasi pertandinganyang bermasalah baginya, sehingga mengesankan dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan mindset pemenang dalam situasi apapun.

Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi emosi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.

Berniat Benar, Bergerak, Bertindak

Ayah saya selalu mengingatkan, sejahat-jahatnya perbuatan seseorang, pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal benar dan baik, bukan kerena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Kenyataan ini cukup menjadi dasar setiap keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik terlepas dari situasi yang kita hadapi kondusif atau kurang menguntungkan. Namun, sikap merasa bersikap benar ini saja belum cukup. Tengoklah betapa banyak orang, penulis, kritikus, politikus, ahli-ahli yang betul-betul merasa benar, namun tidak menyambung perasaan ini dengan komitmen untuk berusaha, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Sebuah kalimat bijak mengatakan: “Winners actually SEE their success BEFORE it happens”, tetapi melihat saja tidak cukup. Untuk menang atau memiliki jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.

Semangat Pemenang Perlu Dipelihara

Dalam penutup email dan sms-nya, seorang teman sering menuliskan kata penyemangat pada rekan-rekan kerjanya. Semula saya sendiri kikuk menerimanya, tetapi lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkit mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati-hati.

Kita juga perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Target penjualan yang ditingkatkan terus, tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung henti.

Hal yang juga senantiasa perlu ditemukan individu dalam kehidupan berkarya adalah perasaan bangga atas hasil kerjanya, di mana seorang tukang sapu harus sama bangganya atas hasil sapuannya seperti Micheangelo bangga terhadap hasil sapuan kuasnya. (Eileen Racham & Sylvina Savitri/ Experd/Kompas/ Klasika/23/08/2008).

Monday, December 15, 2008

Teknik BerbicaraDi Depan Publik

TEKNIK BERBICARA DI DEPAN UMUM

Bagi sebagian orang, berbicara di depan umum atau presentasi seringkali menjadi hal yang sulit dilakukan. Merasa malu, minder, kurang percaya diri, takut ditertawakan, atau merasa belum layak, adalah alasan yang membuat banyak kesempatan “tampil” lewat begitu saja dan diambil oleh orang lain.

Untuk mengatasi hal tersebut, anda dapat mencoba teknik-teknik berikut:

Pertama, sebelum tampil di depan umum, persiapkanlah segala macam bahan untuk presentasi. Rincilah bahan-bahan apa saja yang akan dibicarakan. Bahan presentasi sebaiknya singkat, padat, dan jelas. Untuk memudahkan anda, tulislah rincian bahan tersebut pada selembar kertas sehingga anda akan lebih mudah mengingatnya.

Kedua, persiapkanlah penampilan anda sebelum tampil di depan umum. Ingat, penampilan yang baik dan rapi akan membuat rasa percaya diri anda muncul. Perhatikan penampilan anda mulai dari dbawah hingga ke atas. Usahakan agar sepatu anda bersih dan mengkilat. Celana dan kemeja pastikan warnanya selaras dengan dasi dan jas. Sisirlah rambut hingga rapi dan sopan, dan jangan lupa menggunakan parfum yang tepat. Ini merupakan faktor penting yang akan membuat anda lebih percaya diri saat berbicara.

Ketiga, berlatihlah dengan cara berbicara di depan kaca atau berbicara dengan pasangan, saudara, atau orang dekat anda. Selain itu, jangan lupa siapkan intonasi, gaya bahasa, dan susunan kata yang baik. lalu, mintalah agar mereka menilai penampilan anda.

Keempat, mengevaluasi diri anda setelah latihan. Salah satu caranya adalah dengan merekam suara anda melalui telepon genggam, atau alat perekam lainnya. Dengan cara ini, anda jadi tahu di bagian mana yang menjadi kelebihan dan kekurangan anda tersebut.

Kelima, perhatikanlah gaya serta cara berbicara dari seorang tokoh yang dapat anda jadikan panutan. Tirulah segala macam hal positif dari tokoh tersebut. Namun, satu hal harus diingat, anda harus tetap menjadi diri anda sendiri. Tonjolkanlah karakter anda dalam berbicara, sehingga para pendengar terkagum-kagum dengan cara anda berbicara di depan umum.

Keenam, siapkanlah mental positif bahwa anda bisa melakukannya walaupun untuk yang pertama kalinya. Tanamkanlah sikap percaya diri dan berpikiran positif. yakinlah bahwa anda mempunyai kemampuan yang baik untuk dapat berbicara di depan umum. (INO/Kompas/Klasika/3/12/2008).

Sunday, December 14, 2008

Hemat itu Harus Menjadi Gaya


HEMAT ITU GAYA

“Dapatkan satu set dapur branded, ditambah satu jaket kulit ekslusif, bila anda membeli apartemen sebelum akhir bulan ini”, “Bagi putra-putri anda, mainan kecil selama penerbangan”. Serbuan promosi ini, kesemuanya ditanggapi oleh kita, baik yang maupun yang miskin, yang perlu atau tidak memerlukan, dengan ungkapan: “Kenapa tidak?” Apakah sesudah itu jaket maupun mainan di buang ke tong sampah karena tidak cukup “berharga” untuk disimpan, itu urusan lain. Yang penting, kita “mendapatkan”-nya.

Tanpa sadar perilaku konsumsi kita sudah berjalan tanpa pikir panjang lagi. Kita tidak perlu memedulikan lagi, apakah kita menjalankan “over consumption” yang diikuti perilaku membuang sampah, sesaat menggunakan produk kemudian mengganti lagi dengan produk lain atau mengikuti tren produk selanjutnya. Gejala “over consumption” ini sudah menggejala di setiap lapisan masyarakat secara menyedihkan. Tengok betapa yang berpenghasilan di bawah satu juta rupiah membelanjakan uangnya untuk membeli pulsa ponsel. Seberapa pentingnyakah komunikasi instan ini bagi dirinya?

Seiring dengan ajakan banyak pihak termasuk pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang, semakin gencar pula para produsen bersaing melalui upaya pemasaran yang gila-gilaan. “Lima puluh persen diskon untuk makan di restoran ternama, selama tiga bulan ini”. Alhasil, makanan restoran yang dulunya kita nikmati sedikit dan perlahan-lahan sekarang kita konsumsi lebih banyak, bahkan kadang sampai terbuang percuma. Meskipun beberapa orang tua masih kerap menasehati putra-putrinya untuk “ingat pada yang tidak punya makanan”, namun konsumsi makanan (baca: berlebihan) tetap berjalan terus.

Kita jadi sadar bahwa kita berada di tengah ambivalensi perasaan dan evaluasi mengenai realitas sosial dan konsumsi kita sendiri. Keadaan yang kita sadari ini pun ingin kita ubah, namun tenaga serasa tidak cukup untuk berubah dan mengubah gaya hidup seketika. Tanpa terasa badai konsumsi sudah begitu kuat mewarnai hidup kita dan sudah kita anggap sebagai kebutuhan pokok. Keluarga menengah yang tinggal, misalnya di bilangan Bekasi, sering kita lihat mengupayakan untuk punya mobil dua. “Saya bekerja di Tangerang dan istri berkantor di daerah Sudirman. kami tidak punya pilihan. Kalau tidak menggunakan 2 mobil, kami tidak punya waktu untuk keluarga”. Kenyataan seperti ini seolah berbunyi “no way out”, yang kemudian bisa membuahkan sikap apatis, tidak berdaya, tanpa ancang-ancang langkah mundur bila, misalnya, harga BBM melonjak dan tidak terbayarkan lagi.

Cerminan Diri.

Semenjak tahun 80-an, keberadaan mal-mal indah, sejuk dan nyaman seakan menjadikan kegiatan shopping sebagai ritual yang sah, bahkan dijadikan sarana untuk mengumandangkan “siapa saya” alias identitas diri. “Apa yang kita beli dan konsumsi, adalah cerminan dari diri kita”. Tanpa sadar kita sudah berada pada situasi di mana konsumsi tidak ada hubungannya dengan “biaya” dan kebutuhan. Konsumsi adalah “impulse”, yaitu reaksi impulsif yang secara sengaja dipelajari dan didalami oleh kaum marketers yang berusaha untuk menyasar para konsumen agar lebih mengonsumsi dan mengonsumsi lagi. Operator telepon, penjual minuman, bahkan rokok sangat menyadari bahwa konsumen yang paling empuk adalah remaja. Dan, karenanya remaja ini dininabobokan dengan konsumsi yang mudah, ringan tetapi adiktif, menjebak, dan sulit bisa lepas lagi. Pertanyaannya, mungkinkah kita kembali ke era dimana kita melakukan “reasonable and reflective consumption”, dan dengannya berpikir keras mengenai kuantitas dan kualitas berang yang kita konsumsi?

Antara ‘Punya” dan “Berbagi”

Saya teringat kebiasaan ayah saya di tahun 60-an, yang setiap pagi hari pukul 6 berangkat dari rumah di Cilandak dan mengangkut beberapa anak sekolah langganan sepanjang Jl. Fatmawati, yang sudah seolah ber-“gentleman agreement” untuk berangkat bersama. “Daripada kosong”, begitu komentar ayah saya, yang dengan bangga mengendarai Austin Thames-nya, mobil pribadi pertama yang dimilikinya. Memiliki mobil pada jaman itu merupakan prestasi yang sangat dibanggakan, tetapi kemudian, berbagi fungsi dan kemudahan membuat hidup lebih bermakna lagi. Mengapa di zaman sekarang, kita tidak kunjung bisa menanggulangi jalan macet dengan berbagai? bahkan, kitamenghalalkan pelanggaran dengan memanfaatkan para “joki” demi “privacy” alias “selfishness”. Gaya hidup “berbagi” memang tidak terlalu populer di kalangan “gaul”, dibandingkan dengan isu “mempunyai”. Di sinilah budaya selfishness tumbuh subur tanpa sadar bahwa dengan memanfaatkan dan menikmati kebersamaan dan hubungan sosial, kita bisa lebih sejahtera.

Berhemat itu Canggih

Isu “matre” atau sikap materialistis nampaknya sudah kuno, basi, tidak signifikan lagi, karena kita memang sudah terbiasa, bahkan terbelenggu menjadi konsumen setia. Kemudahan dan keuntungan sebagai pemegang kartu kredit dan kartu debet dan segala macam kemudahan berutang menjadikan kita tidak kuasa lagi untuk setiap kali berhenti sejenak, berpikir dan mempertimbangkan tentang pengeluaran uang, ongkos, serta keguanaan dari barang, produk maupun jasa yang kita konsumsi. Nampaknya untuk berhemat, semua dari kita perlu “start from scratch” dan berpikir sangat keras, merekayasa dan mendesain suatu pendekatan, yang lebih manusiawi ketimbang komersialisasi, lokal ketimbang global, dan membuat sendiri ketimbang membeli, demi menyelamatkan kesejahteraan fisiologis, psikologis, emosional, dan spiritual. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/EXPERD/Kompas/Klasika/24/05/2008)

Piawai Menulis Esai


PIAWAI MENULIS ESAI

Menuangkan pikiran ke dalam bentuk tulisan merupakan aktivitas yang sangat bermanfaat. Selain melatih logika dan kemampuan berbahasa, aktivitas ini juga melatih pelakunya menyampaikan gagasan – sebuah ketrampilan yang penting namun masih jarang dimiliki oleh pekerja di Indonesia.

Menulis bisa juga menjadi medium ekspresi. Simak saja betapa blogging (jurnal online) kini sedang marak, bahkan di Indonesia. Selain itu, bukan tak mungkin kegiatan ini mendatangkan uang, jika tulisan anda dimuat di media massa.

Untuk mulai menulis, salah satu bentuk tulisan yang dapat dimanfaatkan adalah esai, yaitu karangan yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Pada tulisan ini, kepribadian, pola pikir dan cara pandang esais (pengarang esai) sangat menonjol. Berikut ini beberapa acuan yang dapat digunakan saat menulis esai.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan topik. Pillihlah satu topik yang benar-benar disukai agar anda dapat lebih menikmati proses penciptaan esai tersebut, misalnya tentang remaja, kehidupan sosial di perkotaan, atau tentang seni dan budaya. Sebelum memutuskan topik mana yang hendak dipakai, ada baiknya untuk melihat beberapa bahan bacaan guna mengetahui seberapa menarik topik ini untuk diangkat.

Setelah menentukan topik, persempit ruang pembahasan anda agar nantinya tulisan tersebut tetap fokus, dalam dan tidak rancu. Misalnya topik tentang perkotaan, anda bisa mempersempit pembahasan dengan mengangkat tentang tata kota atau sistem transportasi di dalamnya.

Berikut pikiran atau diskusi denan rekan-rekan merupakan cara produktif untuk mendapat masukan mengenai topik yang akan diangkat dalam esai. Dari diskusi ini pun mungkin anda bisa menemukan argumen-argumen baru untuk mendukung esai.

Saat menulis anda bisa memasukkan ide-ide menarik atau mengutip komentar orang-orang yang dirasa mampu memberi inspirasi bagi pembaca. Sedapat mungkin hindarilah kata-kata klise yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan dalam tulisan.

Terakhir adalah kesimpulan yang di dalamnya berisi inti dari semua yang telah anda tulis. Sebaiknya gunakan kalimat yang singkat namun padat. (ASP/Kompas/Klasika/9/12/2008)

BAGAIMANA MENJAJAKI KARIR?


RAMUAN UNTUK MENJAJAKI KARIER

Membuat tujuan dalam bekerja merupakan salah satu bumbuynag diperlukan untuk terus memompa semangat. Seperti yang sering dikatakan, memiliki ambisi diperlukan untuk menuai kesuksesan, namun jangan sampai ambisius tinggi yang memegang peranan. Lakukan dengan cara benar dan tepat sasaran.

Setiap langkah kesuksesan bisa diperoleh dengan cara yang berbeda-beda oleh setiap orang. Namun patut dipahami bahwa ada beberapa nilai dan tahapan yang akan memberi nilai plus bagi anda dan pada akhirnya mendatangkan kesuksesan dalam berkarier, antara lain:

1. Kejujuran

Bidang pekerjaan apapun membutuhkan nilai kejujuran tinggi, terlebih jika bidang pekerjaan anda menyangkut masalah keuangan. Korupsi dalam skala terkecil, sekalipun adalah bentuk ketidakjujuran yang lama kelamaan akan berkembang ke hal yang lebih besar. Kejujuran ini menjadi dasar dalam segala hal, baik dalam bekerja, hubungan dengan atasan, maupun rekan kerja.

2. Kenalilah kelemahan dan kekuatan yang dimiliki.

Hal ini akan membantu anda untuk memetakan diri dan menentukan bidang pekerjaan yang paling tepat dan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.

3. Berani menghadapi tantangan.

Meski mengetahui kelemahan diri sendiri, bukan berarti anda harus menjauhi pekerjaan yang sama sekali baru atau pekerjaan yang lebih menantang dengan tanggung jawab yang lebih besar. Justru di sinilah tantangan yang harus dijalani untuk menguji ilmu maupun kemamouan yang telah anda miliki. Di sisi lain, hal ini pun membuktikan anda memiliki satu kelebihan yang dianggap mampu oleh atasan untuk menjalani dan merupakan salah satu bentuk pencapaian dalam berkarier.

4. Selalu belajar

Saat sudah memegang posisi tertentu dengan tanggung jawab yang lebih tinggi, jangan pernah usai untuk terus mengembangkan diri dan belajar. Karena hal hal ini pulalah yang akan mengantarkan anda untuk terus meniti tangga karier selanjutnya. Lagipula, semakin banyak pengetahuan yang dimiliki juga semakin membantu anda dalam mengemban tugas.

5. Membangun jejaring

Membuat jejaring komunikasi bisa dilakukan dalam berbagai kesempatan, baik di internal kantor maupun eksternal, seperti training, seminar, dan masih banyak lagi. Anda bisa belajar banyak dari mereka dan tak ada yang tahu jika suatu hari nanti justru di antara kenalan anda itulah yang akan menghantarakan anda menuju tanggal selanjutnya. (ADT/Kompas/Klasika/7/12/2008).

PEMIMPIN YANG "MELAYANI"


Pemimpin yang “Melayani”

Semakin banyak saya membaca literature atau konsep mengenai kepemimpinan, semakin saya merasa tidak mungkin menjadi seorang pemimpin yang baik. Bayangkan, menurut berbagai ahli kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kharismatik, inspirational, transformational, innovative, motivational, memiliki kesadaran global, dan masih banyak lagi istilah-istilah canggih yang semakin menunjukkan betapa predikat “pemimpin” menjadi sangat ekslusif. Jika untuk menjadi pemimpin harus memiliki kualifikasiyang secanggih itu, lalu berapa banyak orang yang mampu menjadi pemimpin di masa mendatang?

Saya teringat pengalaman pada saat menyelesaikan program pasca-sarjana. Saat itu saya melakukan penelitian guna mencari jawaban atas pertanyaan apakah saya dapat memprediksi gaya kepemimpinan seseorang bedasarkan personal value-nya? Suatu pertanyaan yang sederhana, namun memiliki jawaban yang membuat saya sering sakit kepala karena saya harus membaca dan memahami berbagai gaya kepemimpinan dari berbagai literatur yang semuanya berakhir pada suatu kesimpulan: konsep kepemimpinan umumnya rumit, sulit dipahami maupun diterapkan. Saya rasa bukan hanya seorang yang merasa demikian. Buktinya? Salah seorang rekan di sebuah perusahaan besar sedang mencari lulusan terbaik dari universitas-universitas di Indonesia untuk didik menjadi manajer atau pemimpin masa depan. Ketika saya tanya, “Kriteria manajer masa depan itu seperti apa?”, ternyata ia sendiri juga bingung. Ia mencoba mengungkapkan istilah-istilah canggih seperti diungkapkan sebelumnya, tanpa mampu memberikan contoh tingkah laku konkret dari manajer masa depan khayalannya.

Saya jadi bertanya-tanya, adakah konsep kepemimpinan yang sederhana, tidak sulit untuk diterapkan, namun memiliki dampak langsung yang terlihat terhadap kinerja anak buah maupun tim kerja? Menurut saya, seorang pemimpin atau manajer yang baik adalah pemimpin yang bersedia “melayani”, artinya bersedia bekerja bagi tim dan sekaligus memimpin tim tersebut. Tentu saja kita tetap harus mempertimbangkan aspek keseimbangan dalam pelayanan. Artinya, pelayanan dari manajer tidak boleh berlebihan sehingga tugas manajer lebih mirip denan tugas office boy. Bagaimanapun, peran manajer sebagai pemimpin tim tetap harus menonjol.

Lalu, agar seorang manajer dapat menjadi pemimpin yang “melayani”, karakter seperti apa yang harus ia miliki? Hal yang paling utama, tentunya manajer tersebut harus menyukai manusia sehingga ia mampu memahami hubungan antar-manusia dengan lebih baik. Dengan demikian, ia akan melihat konsep ini sebagai manifestasi dari rasa cintanya terhadap hubungan antar-manusia, bukan lagi sebagai tuntutan peran semata. Dengan bahasa sederhana, ia mampu melayani anak buah karena ia memang mau dan senang melakukannya.

Bentuk pelayanan yang dapat diberikan oleh seorang manajer kepada anak buahnya dapat bervariasi, dari aktivitas sehari-hari hingga keputusan manajemen yang lebih kompleks. Misalnya ia akan berusaha meluangkan waktu saat anak buahnya sedang membutuhkan saran dan masukan. Atau, setiap kali seorang manajer memberikan tugas kepada anak buahnya, ia tidak lupa menanyakan kegiatan anak buah saat akhir pekan karena ia tidak hanya tertarik dengan masalah pekerjaan tetapi juga kehidupan sosial anak buah (yang sering diartikan oleh sebagian orang sebagai basa-basi yang tidak perlu). Contoh lain, misalnya ketika anak buah tidak berhasil melaksanakan tugas sesuai harapan anda sebagai manajer, maka anda akan berusaha membesarkan hatinya dan menunjukkan cara yang lebih efektif untuk menyelesaikan tugas serupa di masa mendatang.

Selain itu, ada pula bentuk pelayanan dari seorang manajer terhadap anak buahnya dalam bentuk yang lebih luas dan menyangkut kebijaksanaan perusahaan secara keseluruhan. Misalnya, yang diusulkan oleh Tony Barnes berdasarkan teori Kaizen mengenai kepemimpinan (1998:hal.85). Ia menyatakan bahwa pada dasarnya seorang manajer dapat memberikan bantuan dalam 5 bentuk sebagai berikut:

Kalau seorang karyawan tidak tahu apa yang harus dikerjakan ...beri ia penjelasan.

Kalau seorang karyawan tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya ... beri ia pelatihan.

Kalau seorang karyawan tidak ingin mengerjakannya ....beri ia motivasi.

kalau seorang karyawan tahu apa yang harus dikerjakan, berkompetensi, dan memiliki motivasi untuk mengerjakannya ... beri aia kesempatan.

Kalau seorang karyawan sudah mengerjakannya dan memenuhi standar (bahkan melebihi) ... beri ia penghargaan.

Sudahkan anda menjadi pemimpin yang mampu “melayani” anak buah?
(Mira Trispuspita/EXPERD/Kompas/11/11/2001)

Saturday, December 13, 2008

SIAPA MENENTUKAN KARIR ANDA?


KARIR

Pada sebuah workshop dalam sebuah perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta melihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah’. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae”.

Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan dan penilaian datang dari ‘atas’, memang ada dan masih kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan perkembangan praktek yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar, kerja global, banyak kita lihat pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya suatu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.

Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsenterasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetensi untuk meraih excelence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excelence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya keterampilan-keterampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahaan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ‘karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.

Career Self-Management” VS “Career Track” Perusahaan

Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: “Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100% terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokkannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.

Kelalaian ini bukan saja terjadi tingkat bawah. Teman saya seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah-salah siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan di pensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perubahan.

“Portfolio Management”: Tambang Emas Individu

Setiap profesional, apapun keahliannya, perlu me-“maintain”, mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar” saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak boleh lengah dalam meng-“update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.

Employer” sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luar’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun dalam tambang kompetensi kita bagaimana kita menjualnya di pasaran. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/AXPERD/ Kompas/klasika/19/07/2008)

KOMITMEN


KOMITMEN

Tanda bahwa sebuah organisasi sudah mulai tidak efektif adalah kalau karyawannya sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Seorang eksekutif HRD menceritakan betapa karyawannya masih harus ditakut-takuti dengan absensi kehadiran, agar mau terlibat dalam kegiatan ataupun meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti donasi, fun activities, atau meeting bipartite. Memang, para karyawan tidak sampai saling memukul, baik dari belakang maupun depan, tidak saling menghina atau tidak menyatakan tidak saling percaya satu sama lain. Secara kasat mata, hubungan interpersonal kelihatan harmonis. Namun, bila perlu adanya koordinasi, katakanlah, crash program, pembenahan kantor atau pun program yang sifatnya non-kritikal tetapi perlu dikeroyok rame-rame, barulah terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi seolah sulit sekali diatur dan diimplementasikan ke dalam kegiatan yang terarah. Di sinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidakefektifan sebuah organisasi.

Banyak sekali ribut-ribut di perusahaan yang diakhiri dengan komentar, “Ini cuman masalah komunikasi, kok ...” Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Hasil yang kita telan dari tidak efektifnya komunikasi adalah karyawan tidak ter-“konek” dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri secara sesuai. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah bisa tidak terdeteksi lagi. Yang terlihat justru pada tidak berkomitmennya setiap bagian, individu atau kelompok terhadap apa yang sudah di-“iya”-kan, dijanjikan atau direncanakan. Lebih parah lagi, bila komitmen terhadap “deadline”, waktu, kuantitas tidak bisa di-“nyatakan” lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Di sinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitmen.

Dari Komitmen ke Laba Perusahaan

Sudah tidak jamannya lagi orang menomorduakan komitmen karyawan di dalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitmen karyawan sudah menjadi daya saing utama dalam bisnis. Komitmen bisa terlihat dalam beberapa bentuk. Kita bisa lihat komitmen berkelas rendah karena individu butuh “memperpanjang” karirnya di perusahaan dan tidak punya pilihan lain dalam karirnya, yang sering disebut sebagai ‘continuance commitment”. Ada juga individu yang komit demi loyalitas, kedisiplinan dan kepatuhannya pada perusahaan, atau komitmen yang bersifat normatif. Orang yang komitmennya normatif akan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walaupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Perusahaan sebetulnya perlu memancing sebanyak-banyaknya komitmen afektif, di mana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengompakkan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan.

Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan sistem dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu di mana ia bisa “ikut bermain” dan menikmati pekerjaannya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan. Kita sebagai nasabah tentunya senang berbank dengan bank yang karyawannya jelas-jelas bekerja keras, berkinerja dan berjuang demi kepuasan nasabah dan kesuksesan perusahaannya, ketimbang bank yang santai dan tidak mengejar sasaran yang jelas.

Komitmen: Penyatuan Risiko dengan Tindakan

Menurut para ahli, komitmen sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal, sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima risiko tindakan yang sudah diambil oleh individu. Bila seorang ahli bedah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan suatu kasus, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan si pasien, apakah melalui tangannya sendiri ataupun dengan bantuan ahli lain. Demikian pula, seorang kepala cabang yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serte merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada risiko ia tidak disukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan risiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru memberi “flavor” pada kerja keras kelompok.

Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in” mendukung “action” , bersedia untuk di-“expose”, siap bertanggung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta menghandel dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tuas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya?” atau ‘bukan saya, pak ...’ tidak laku, karena sikap defensif hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.

Komitmen itu Pilihan

Beda tipis dengan kepatuhan dan kewajiban yang normatif, komitmen afektif adalah sepenuhnya pilihan individu. Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin pada dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasif, lebih terbuka terhadap kemungkinan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmen pun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama-sama dipahami.

Komunikasi mengikuti “The 51% Rule”

Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang yang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Untuk membuat peserta lain ‘hadir’ dalam tantangan yang sedang dibicarakan, seorang ahli komunikasi membuat formula yaitu bila setiap orang yang sedang berkomunikasi, yang sudah pasti dua arah, mengambil 51% tanggung jawab terhadap keberhasilan komunikasi dan follow up-nya, maka komunikasi pasti akan dipenuhi oleh spirit komitmen yang utuh. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengejar “the extra mile” dan menikmati pekerjaan. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/EXPERD/Kompas/Klasika/09/08/2008).

BERSELANCAR DALAM OMBAK PERUBAHAN


BERSELANCAR DALAM OMBAK PERUBAHAN

Perubahan pusat ekonomi, revolusi teknologi global seperti bio-teknologi dan nano-teknologi, serta berubahnya peta industri dari global ke lokal atau sebaliknya, membuat setiap orang mengumandangkan perubahan.

Pepatah kuno yang mengibaratkan perubahan bagaikan ombak, mengatakan, “Yang memberi kita ombak adalah Allah. Bagaimana kita bereaksi terhadapnya, adalah pilihan manusia-nya sendiri-sendiri”. Pada situasi di mana “ombak perubahan” sebesar tsunami, terkadang manusia memang tidak punya pilihan. Namun, dalam kondisi “ombak” lain, kita mempunyai pilihan, untuk sekedar menunggu redanya ombak, berenang mengikuti atau melawan ombak, atau berselancar dan cerdik memilih ombak mana yang yang akan dtiunggangi.

Mereka yang jago berselancar dalam ombak perubahan, tentunya akan membukukan cerita manis. Pada krisis tahun 1998, Garuda Food bahkan melakukan diversifikasi, membeli dan memproduksi biskuit dan jelly secara sukses. Faisal Basri, ekonom kondang telah mengingatkan kita tentang harga saham yang sedang “bagus-bagus”-nya, yang kemungkinan bisa di-caplok oleh orang asing terlebih dahulu, sementara kita bangsa Indonesia bisa “ketinggalan kereta” dalam melihat peluangnya. Lagi-lagi, kemampuan berselancar kita ditantang.

Menangkap Ombak, Mengambil Action

Dalam pembicaraan di pesta-pesta maupun pemberitaan di media, kita dikejutkan oleh banyak sekali perubahan. Bahkan saking banyaknya dan bertubi-tubinya fakta, kita terpaku dan menggeleng-gelengkan kepala. Ada juga yang mampu menganalisa dan segera menyimpulkan tren dan mengira-ngira apa yang akan terjadi. Pertanyaannya, berapa orang yang membuat keputusan dan mengikutinya dengan action plan?i “Apa yang akan saya lakukanuntuk mengelola cash dan hutang-hutang? Apa yang perlu diganti dalam rencana-rencana saya? Bagaimana saya mempertahankan pelanggan saya?”

Dalam kepanikan menghadapi krisis, saya melihat bahwa orang bisa saja “maju-mundur” secara ekstrim dalam mengambil keputusan. Padahal, keputusan harus diambil. Apakah order akan dibatalkan? Apakah kita akan melanggar kommitmen karena besaarnya kerugian yang harus kita tanggung? Apakah kita “berani rugi” untuk mempertahankan hubunan yang baik? Kapan pengorbanan akan membuahkan hasil? Dan, yang juga sangat penting, apakah kita menyadari untuk membedakan antara keputusan yang berfokus pada keuntungan jangka pendek atau jangka panjang?

Isu yang sangat penting, yang justru sering terlupakan oleh kita semua adalah menerjemahkan kebingungan dan ketidakjelasan yang sedang berlangsung ke dalam sebuah keputusan dan tindakan yang akan diambil. Sebaliknya tekanan yang tiba-tiba, dan mengejutkan, sering kali pula menyebabkan kita terlalu gegabah mengambil keputusan. Tengok saja reaksi impulsif masyarakat terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Masyarakat yang tanpa pikir panjang merespons perubahan nilai tukar rupiahlah yang justru mengakibatkan semakin “goyang”-nya nilai tukar tersebut.

Keseimbangan untuk memperoleh informasi akurat sebanyak-banyaknya, memahami apa pengaruh dan dampaknya bagi perusahaan dan diri sendiri, dan kemudian melihat peluang ke masa depan dan mengambil keputusan yang konkret hampir-hampir adalah suatu seni. Bila kita tidak awas terhadap perubahan, kita ketinggalan. Sebaliknya, bila kia bertindak terlalu jauh, kita bisa terkubur oleh persoalan-persoalan ‘here and now’ di depan mata. “You can’t grow long-term if you can’t eat short-term”. Di sinilah letaknya tantangan untuk menyeimbangkan keputusan jangka pendek versus jangka panjang, menyeimbangkan upaya survival, sambil merencanakan masa depan, serta memperhatikan baik pendekatan humanistik dan holistik. Mencari keseimbangan inilay yang sulit, meskipun ‘kita bisa’!

Waktunya Menggalang Kebersamaan

Seperti yang dikatatakan oleh Jack Welch, “I don’t like to use word efficiency. It’s creativity. It’s a belief that every person counts”. Kekuatan baru hanay bisa terbentuk dengan menggalang kebersamaan, melakukan diskusi intensif untuk mendengarkan isu-isu, bersama mempelajari tantangan dan peluang yang ada, membahas bersama action-action untuk recovery, sehingga keluhan dan ketakutan bisa diubah menjadi komitmen dan optimisme. Dalam situasi inilah sesungguhnya keterampilan mendengar, berdiskusi, ber-brainstorming paling dibutuhkan. “Orang-orang pintar” di dalam kelompok juga perlu dimanfaatkan agar kita bisa mempertajam kemampuan untuk mengetes asumsi, mengelola keluhan, membaca feedback dan melihat peluang.

Rasa takut dan perasaan tidak nyaman yang dirasakan anggota kelompok adalah sinyal-sinyal yang perlu ditangkap dan dipelajari. Pada saat ini feedback, walaupun menyakitkan juga sangat berguna untuk menjawab: “so what?” dari gejala-gejala yang terjadi. Inilah saat yang tepat untuk membentuk ‘alignment’ yang kuat di dalam, sambil bersama-sama memandang ‘keluar’.

Fleksibilitas di Atas Kompleksibilitas

Mempersiapkan masa depan dalam situasi penuh tekanan, sambil menjaga kestabilan, memang memerlukan stamina, bukan saja intelektual tetapi juga emosional. Kita harus meletakkan ekstra fokus pada doing the right thing –the right way, serta pada timing yang tepat pula. Louis V Gerstner,Jr terbukti melakukannya pada saat IBM diramalkan akan terpuruk tajam, dengan cara “membalik” bisnis mainframe IBM ke bisnis PC. Di sinilah kemampuan kita diuji, apakah bisa lincah dan fleksibel mengarungi kompleksitas.

Tentunya para pemimpin perusahaan perlu menambah energi pribadinya untuk mampu mendorong dan menyemangati karyawannya untuk tetap jeli memanfaatkan peluang, menekan biaya, dan menciptakan produk yang murah dengan kualitas tetap prima. Perusahaan yang sukses mengarungi lautan kompleksitas ini adalah mereka yang mampu fokus pada hal-hal penting saja. sambil tetap memelihara fleksibilitas untuk berespon terhadap perubahan, tren serta tekanan baru. Senantiasa ingat kata pepatah, “Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future”. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/EXPERD/Kompas/Klasika/13/12/2008).

Related Posts with Thumbnails