Sebuah foto hitam putih, menampilkan perahu kecil berbendera merah putih mengarungi badai, yang ditampilkan saat mengawali presentasi seorang pakar ekonomi, membuat saya berpikir, “Kenapa tidak?” Perahu kecil pun bias bertahan, bahkan mencapai tujuannya, asalkan berjuang, cerdik dan melakukan langkah-langkah yang benar, sebelum, selama, dan sesudah badai terjadi.
Situasi tsunami di depan mata ini memang bisa membuat mental kita down dan bila tidak hati-hati membuat kita tidak berdaya. Riset membuktikan bahwa dalam keadaan terpuruk, banyak eksekutif yang tidak lagi berusaha membuka diri terhadap ide-ide baru pada saat berada dalam situasi stres. Situasi eksternal yang berubah begitu cepat, unpredictable, membuat tak sedikit orang merasa bahwa segala upaya sudah gagal dan tidak akan da upaya lain yang lebih mempan menanggulangi situasi. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya kegagalan tidak selalu harus berasal dari situasi eksternal yang buruk. Kita pun bisa gagal dalam situasi adem ayem, kalau tindakan, keputusan dan cara monitor kita yang salah. Sebaliknya, Grameen Bank tumbuh cemerlang atas prakarsa Prof. Yunus, di lingkungan yang tanpa hujan dan angin pun sudah sangat miskin dan papa.
Cek “Alarm” Diri Anda
Dalam pertemuan pada suatu divisi di sebuah bank, saya mengecek reaksi dari para karyawan terhadap situasi krisis, dengan menampilkan berita 12.600 karyawan yang terancam PHK. Sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah peluang bagi perusahaan lain yang membutuhkan. Namun, terasa bahwa mayoritas karyawan yang berada di divisi yang cukup masih bisa merasakan ‘comfort zone’ ini, masih adem ayem, belum betul-betul menangkap pesan krisis yang disampaikan oleh berbagai media.
Tentu saja, normalnya, tidak seorang pun dalam dunia bisnis maupun non bisnis yang bisa bersikap masa bodoh terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi perusahaan, negara bahkan dunia, saat ini. Kenyataannya, banyak eksekutif yang masih berharap akan datangnya kejutan, atau masih mengira-ngira apakah “mendung” benar-benar akan berubah menjadi “badai”. Sebaliknya, tak sedikit yang berharap bahwa awan yang sedang berkumpul akan berlalu begitu saja.
Seorang teman eksekutif bersungut-sungut ketika rapat memutuskan untuk melakukan brainstorming mendadak untuk memikirkan langkah-langkah pertahanan perusahaan, karena hasil raker sebulan yang lalu pun belum sempat ia presentasikan. Pada saat-saat beginilah setiap individu mestinya perlun mengecek sistem alarm di dalam dirinya. Jika alarm diri tidak bekerja, tidak membuatnya lebih waspada, tidak menjadikannya “berlari”, perlu dicek mengapa tidak bekerja? Bisa saja keadaan ini disebabkan karena kurangnya informasi, kurangnya bergaul, kurangnya kepekaan atau memang tidak inginnya kita menghadapi kenyataan.
Menyusun Kekuatan untuk “Survive”
Teman saya yang tinggal di Inggris mengatakan bahwa krisis ekonomi di negaranya bagaikan siklus. Ia sudah mengalami beberapa kali “ups and down” dan sudah melihatnya dengan cara antisipatif. Dalam keaadaan anjlok begini, tindakan utama yang bisa dilakukan adalah mengencangkan ikat pinggang dan menghentikan pengeluaran yang tidak perlu. Tindakan quick fix seperti meng-“cut” karyawan, mengurangi biaya R&D, menghentikan servis-servis tambahan yang tidak terlalu signifikan, dan berfokus pada ‘survival” jangka pendek memang sudah sering dan lumrah kita dengar dimana-mana. Tentunya ini adalah jalan yang paling bijaksana yang bisa dilakukan, bila perusahaan sudah mencapai titik nol dalam angka penjualan, atau titik minus dalam pertumbuhan laba. Kemungkinan terburuk seperti inilah, yang perlu kita waspadai, walaupun sebisa mungkin kita hindari.
Dalam masa sulit, perusahaan-perusahaan seperti Southwest Airlines, Harley Davidson dan FedEx pernah tidak mem-PHK karyawannya. Sebaliknya, karyawan diajak untuk menggali kekuatan mereka habis-habisan dan mengupayakan segala daya untuk membuat perusahaannya bertahan ketimbang sibuk mencari lowongan pekerjaan lain. Banyak perusahaan bahkan membentuk loyalitas dan kepercayaan karyawan pada situasi yang sulit. Tentunya sudah sangat basi dan ketinggalan kereta jika kita masih memegang mindset “bagaimana nanti saja ...” atau “kita bangun bila sudah ada kesempatan ...” Saatnyalah kita berpikir untuk “cross cutting” secara agresif, sambil tetap merapatkan barisan, menyusun serta meningkatkan profesionalisme. Dengan melakukannya sekaligus, sesungguhnya kita bisa menabung tenaga, spirit, kekuatan, kepandaian untuk menghadapi tantangan dan kesempatan baru dengan memanfaatkan sikap proaktif, kreatif dan inovatif.
Retooling dan restrukturasi tidak bisa dianggap sebagai ancaman, karena perubahan internal sudah harus bersifat sefleksibel mungkin. Lengkah seperti “everybody sells”, pembentukan kerja lintas fungsi, “gunting-copot” individu yang “in charge” tidak bisa lagi dilakukan secara berkala, tetapi harus terjadi setiap saat, karena kinerja pun perlu dimonitor setiap saat.
Belajar dan Menjadi Lebih Kuat dari Situasi Buruk
Dari sejarah yang ada, kita semua menyadari bahwa “badai pasti berlalu”. Tinggal kita jugalah yang menentukan bagaimana kita akan “bermain” di dalamnya. Apakah kita akan mengambil peran sebagai penonton? Sebagai korban? Atau justru aktif berpikir, berencana, belajar dan menjadi lebih kuat dari situasi buruk. Individu atau perusahaan yang cerdik tentunya akan merangkul teman senasib, karyawan, vendor, mitra bisnis, pelanggan, untuk bersama-sama merapatkan barisan dan berstrategi. Perencanaan yang cerdik bahkan membuktikan adanya pertumbuhan bisnis di seputar keterpurukan. “Contingency plan” yang kita kenal dengan istilah plan B, perlu dilengkapi dengan alternatif-alternatif lain, yaitu plan C, D, E dan seterusnya, tanpa meninggalkan fokus dan kekuatan perusahaan. Berada di situasi “bawah” dalam siklus perkembagnan ekonomi, kita bisa berkaca pada ‘mercu suar’, yang selalu berisiko diterjang badai, tetapi tetap melihat jauh ke cakrawala dan bahkan berkinerja terus memancarkan sinar alarm-nya. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ Experd/ Klasika/Kompas/06/12/2008)