“NOTHING IS FREE”
Dalam sebuah seminar, pada waktu universitas negeri belum mandiri, seorang mahasiswa yang mengaku kuliah di sebuah universitas negeri besar mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada disiplin ilmu yang sedang ditekuninya dan berkeinginan sekali “pindah bidang”. Ia terkejut saat saya berkomentar bahwa ia sudah menyia-nyiakan uang negara. Dengan membayar uang kuliah, ia merasa telah melunasi kewajibannya, tanpa menyadari bahwa subsidi negara begitu besar kepada universitas-universitas negeri, sehingga uang kuliah yang dibayarkannya sebenarnya tidak masuk akal alias terlalu murah.
Terkadang kita memang bisa lupa akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap apa yang sudah kita terima. Tak sedikit orang yang tidak mengerti bahwa hidupnya di dalam suatu situasi, tempat atau negara juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mungkin kita juga sulit menghitung berapa banyak orang yang tak peduli atau bahkan berusaha untuk lolos dari kewajiban membayar cukai atau pajak, padahal pajak sangat vital dibutuhkan agar pemerintah mempunyai dana untuk membangun infrastruktur, menalangi kesulitan keuangan, membayar utang negara, membiayai pendidikan dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, apa yang diterima oleh orang lain, seperti fasilitas, upah, imbalan dan kemudahan, sering juga tidak mengerti oleh orang-orang yang tidak mendapatkannya. Saya terhenyak ketika cucu saya menanyakan apakah orang berkeinginan menjadi “orang penting” agar bisa mendaptkan kemudahan, seperti diskon, duduk di kelas satu, menghindari kemacetan dengan gaung sirene? Padahal, bila kita renungkan sejenak, di balik apa yang diterima oleh seseorang pastilah ada “harga yang harus dibayar”.
Seorang pembantu rumah tangga saya bercerita bahwa pada usia 6 tahun, ia perlu mencari kayu kering dulu, sebelum ibunya bisa memasak nasi untuk sarapan. Saya jadi ingat ungkapan yang sering disebut-sebut abang saya semasa kecil, “Di dunia ini tak ada yang gratis, kecuali sinar matahari”. Saya semakin menghayati ungkapan tersebut, ketika akan memasang sumur pompa berkedalaman besar. Ternyata sumur pompa tersebut kemudian dipasangi meter dan setiap kubik air yang tersedot perlu dibayarkan kepada pemerintah, karena air tanah pun adalah milik negara dan perlu dikelola pemerintah.
Sadari Risiko dalam Setiap Pilihan
Banyak orang, terutama di negara-negara maju, merasa sangat terpukul dengan terpuruknya pasar saham yang setelah ditunggu berhari-hari tidak juga kunjung pulih, bahkan merosot lagi. Pertanyaan mengenai: “kapan pasar pulih lagi?” beredar dengan harapan adanya pihak menciptakan “magic” dengan mengangkat kejatuhan yang dibuat oleh sekelompok manusia yang tidak ada puasnya. Kita lihat bahwa yang dialami oleh para pengusaha dan investor adalah keharusan menelan konsekwensi dari risiko yang diambil. Apapun pilihan yang kita ambil, kita perlu sadar bahwa ada harga yang perlu dibayar. Di Indonesia, ungkapan Sri Mulyani agar para pengusaha mengurus dan menjaga keuangan perusahaan baik-baik, tentunya menandakan tidak akan ada bantuan “gratis” lagi dari negara untuk menolong pengusaha yang terpuruk.
Dalam setiap peran dan pilihan kita, apakah sebagai wirausaha, pengelola lembaga keuangan, investor, pegawai, pegawai negeri, anggota DPR atau bahkan warga negara, akan senantiasa melekat hak, kewajiban dan konsekwensi serta risiko. Ada pejabat negara dengan gaji yang cukup, dihormati oleh publik, namun beban yang ditanggung berat dan memerlukan dedikasi tinggi. Ada yang memilih pekerjaan mudah, namun bayaran dan risiko yang kecil. Investor yang menginginkan untung yang besar pastinya juga sepenuhnya sadar bahwa risiko keterpurukan yang dialami bisa parah. Selebritas pun membayar kepopulerannya dengan keharusan menjaga penampilan setiap saat, kemungkinan digosipkan dan hilangnya privasi.
Menilai dengan “Fair”, Membayar dengan “Pas”
Saya sungguh terkejut ketika teman saya yang cukup berada, tampak berusaha sekali untuk secara memelas meminta keringanan membayar uang pangkal dan uang pembangunan sekolah putra-putrinya. Komentarnya, “Kalau belum dapat diskon, rasanya kurang sreg”. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ia tidak menghitung bahwa kontribusi yang diberikannya untuk sekolah akan dinikmati kembali dalam bentuk fasilitas belajar bagi putra-putrinya untuk menguasai disiplin ilmu? Apakah alasan bahwa masih banyak terjadi penyelewengan dan korupsi, memperbolehkan orang untuk tidak berkontribusi atau membayar yang “pas”?
Ketidaksukaan kita untuk berhitung atau menilai, serta meningkatkan kesadaran kegiatan “membayar” sering menyebabkan kita jadi tidak bisa menimbang ataupun menyeimbangkan hak dan kewajiban. Karyawan yang prestasinya biasa-biasa saja, kemudian di akhir tahun tetap menuntut kenaikan gaji karena karena harga di pasar naik, sebetulnya menuntut lebih dari haknya. Sebaliknya, bila individu berprestasi baik sehingga perusahaan untung, kita semestinya tidak perlu sungkan-sungkan mengungkapkan agar perusahaan ingat untuk membayar lebih banyak.
Dari sisi individu, kita sebenarnya perlu menanamkan sikap fair pada diri sendiri dan pada pihak eksternal. Ukuran yang paling mudah sebenarnya adalah uang. Membayar iuran, pajak, tilang dengan benar adalah latihan yang paling baik untuk meningkatkan “awareness” akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap pembangunan. Bila hal ini sudah kita lakukan, kita bisa meningkat lebih jauh untuk menghitung “harga” yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Misalnya, untuk bisa berprestasi tinggi, kita perlu membayar dengan latihan dan kerja keras, di saat orang lain memilih bersantai. Agar direspek sebagai orang yang anggun dan bisa mendapatkan servis yang baik, terkadang kita harus membayar dengan kesabaran menunggu, mengantri tanpa melakukan suap atau membeli catutan. Untuk mempertahankan pelanggan, tak jarang kita juga perlu membayar dengan mengorbankan waktu, bahkan perasaan. Demikian pula kita dan perusahaan perlu mematuhi berbagai larangan untuk bisa mendapatkan predikat “corporate governance”. Sepanjang kita masih bisa menyeimbangkan diri, dan tidak mengorbankan bahkan menjual prinsip, kita bisa berjalan lebih tegap, sehat mental dan perkasa bila merasa sudah membayar dengan “pas”. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ EXPERD/ 01/11/2008)
Dalam sebuah seminar, pada waktu universitas negeri belum mandiri, seorang mahasiswa yang mengaku kuliah di sebuah universitas negeri besar mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada disiplin ilmu yang sedang ditekuninya dan berkeinginan sekali “pindah bidang”. Ia terkejut saat saya berkomentar bahwa ia sudah menyia-nyiakan uang negara. Dengan membayar uang kuliah, ia merasa telah melunasi kewajibannya, tanpa menyadari bahwa subsidi negara begitu besar kepada universitas-universitas negeri, sehingga uang kuliah yang dibayarkannya sebenarnya tidak masuk akal alias terlalu murah.
Terkadang kita memang bisa lupa akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap apa yang sudah kita terima. Tak sedikit orang yang tidak mengerti bahwa hidupnya di dalam suatu situasi, tempat atau negara juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mungkin kita juga sulit menghitung berapa banyak orang yang tak peduli atau bahkan berusaha untuk lolos dari kewajiban membayar cukai atau pajak, padahal pajak sangat vital dibutuhkan agar pemerintah mempunyai dana untuk membangun infrastruktur, menalangi kesulitan keuangan, membayar utang negara, membiayai pendidikan dan masih banyak lagi.
Sebaliknya, apa yang diterima oleh orang lain, seperti fasilitas, upah, imbalan dan kemudahan, sering juga tidak mengerti oleh orang-orang yang tidak mendapatkannya. Saya terhenyak ketika cucu saya menanyakan apakah orang berkeinginan menjadi “orang penting” agar bisa mendaptkan kemudahan, seperti diskon, duduk di kelas satu, menghindari kemacetan dengan gaung sirene? Padahal, bila kita renungkan sejenak, di balik apa yang diterima oleh seseorang pastilah ada “harga yang harus dibayar”.
Seorang pembantu rumah tangga saya bercerita bahwa pada usia 6 tahun, ia perlu mencari kayu kering dulu, sebelum ibunya bisa memasak nasi untuk sarapan. Saya jadi ingat ungkapan yang sering disebut-sebut abang saya semasa kecil, “Di dunia ini tak ada yang gratis, kecuali sinar matahari”. Saya semakin menghayati ungkapan tersebut, ketika akan memasang sumur pompa berkedalaman besar. Ternyata sumur pompa tersebut kemudian dipasangi meter dan setiap kubik air yang tersedot perlu dibayarkan kepada pemerintah, karena air tanah pun adalah milik negara dan perlu dikelola pemerintah.
Sadari Risiko dalam Setiap Pilihan
Banyak orang, terutama di negara-negara maju, merasa sangat terpukul dengan terpuruknya pasar saham yang setelah ditunggu berhari-hari tidak juga kunjung pulih, bahkan merosot lagi. Pertanyaan mengenai: “kapan pasar pulih lagi?” beredar dengan harapan adanya pihak menciptakan “magic” dengan mengangkat kejatuhan yang dibuat oleh sekelompok manusia yang tidak ada puasnya. Kita lihat bahwa yang dialami oleh para pengusaha dan investor adalah keharusan menelan konsekwensi dari risiko yang diambil. Apapun pilihan yang kita ambil, kita perlu sadar bahwa ada harga yang perlu dibayar. Di Indonesia, ungkapan Sri Mulyani agar para pengusaha mengurus dan menjaga keuangan perusahaan baik-baik, tentunya menandakan tidak akan ada bantuan “gratis” lagi dari negara untuk menolong pengusaha yang terpuruk.
Dalam setiap peran dan pilihan kita, apakah sebagai wirausaha, pengelola lembaga keuangan, investor, pegawai, pegawai negeri, anggota DPR atau bahkan warga negara, akan senantiasa melekat hak, kewajiban dan konsekwensi serta risiko. Ada pejabat negara dengan gaji yang cukup, dihormati oleh publik, namun beban yang ditanggung berat dan memerlukan dedikasi tinggi. Ada yang memilih pekerjaan mudah, namun bayaran dan risiko yang kecil. Investor yang menginginkan untung yang besar pastinya juga sepenuhnya sadar bahwa risiko keterpurukan yang dialami bisa parah. Selebritas pun membayar kepopulerannya dengan keharusan menjaga penampilan setiap saat, kemungkinan digosipkan dan hilangnya privasi.
Menilai dengan “Fair”, Membayar dengan “Pas”
Saya sungguh terkejut ketika teman saya yang cukup berada, tampak berusaha sekali untuk secara memelas meminta keringanan membayar uang pangkal dan uang pembangunan sekolah putra-putrinya. Komentarnya, “Kalau belum dapat diskon, rasanya kurang sreg”. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ia tidak menghitung bahwa kontribusi yang diberikannya untuk sekolah akan dinikmati kembali dalam bentuk fasilitas belajar bagi putra-putrinya untuk menguasai disiplin ilmu? Apakah alasan bahwa masih banyak terjadi penyelewengan dan korupsi, memperbolehkan orang untuk tidak berkontribusi atau membayar yang “pas”?
Ketidaksukaan kita untuk berhitung atau menilai, serta meningkatkan kesadaran kegiatan “membayar” sering menyebabkan kita jadi tidak bisa menimbang ataupun menyeimbangkan hak dan kewajiban. Karyawan yang prestasinya biasa-biasa saja, kemudian di akhir tahun tetap menuntut kenaikan gaji karena karena harga di pasar naik, sebetulnya menuntut lebih dari haknya. Sebaliknya, bila individu berprestasi baik sehingga perusahaan untung, kita semestinya tidak perlu sungkan-sungkan mengungkapkan agar perusahaan ingat untuk membayar lebih banyak.
Dari sisi individu, kita sebenarnya perlu menanamkan sikap fair pada diri sendiri dan pada pihak eksternal. Ukuran yang paling mudah sebenarnya adalah uang. Membayar iuran, pajak, tilang dengan benar adalah latihan yang paling baik untuk meningkatkan “awareness” akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap pembangunan. Bila hal ini sudah kita lakukan, kita bisa meningkat lebih jauh untuk menghitung “harga” yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Misalnya, untuk bisa berprestasi tinggi, kita perlu membayar dengan latihan dan kerja keras, di saat orang lain memilih bersantai. Agar direspek sebagai orang yang anggun dan bisa mendapatkan servis yang baik, terkadang kita harus membayar dengan kesabaran menunggu, mengantri tanpa melakukan suap atau membeli catutan. Untuk mempertahankan pelanggan, tak jarang kita juga perlu membayar dengan mengorbankan waktu, bahkan perasaan. Demikian pula kita dan perusahaan perlu mematuhi berbagai larangan untuk bisa mendapatkan predikat “corporate governance”. Sepanjang kita masih bisa menyeimbangkan diri, dan tidak mengorbankan bahkan menjual prinsip, kita bisa berjalan lebih tegap, sehat mental dan perkasa bila merasa sudah membayar dengan “pas”. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri/ EXPERD/ 01/11/2008)
No comments:
Post a Comment