LANDASAN FILOSOFIS INDIVIDU MANUSIA
Pembentukan diri oleh diri sendiri mengisyaratkan bahwa terlebih dahulu seseorang perlu memahami landasa filosofis tentang individu diri manusia. Seorang konselor, Richard Dayringer meringkaskan sembilan butir permikiran penting untuk memahami individu manusia seperti berikut ini:
1. Individu memiliki nilai (kebaikan) dan martabat intrinksik. Inilah implikasi dan citra Tuhan dalam diri manusia. Hal ini tampak dalam kemampuan berkomunikasi secara cerdas, mentransendensi diri, merenungkan masa depan, memilih secara bertanggung jawab dan memiliki rasa humor.
2. Individu merepresentasikan nilai tertinggi. Manusia merepresentasikan nilai tertinggi yang melampaui nilai-nilai lain, semisal nilai institusional dan nilai moralistik. Individu-individu tidak bisa dinilai berdasarkan kualitas jiwani mereka atau berdasarkan status sosial mereka. Mereka seyogiyanya tidak saling memanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan masing-masing. Justru niscayalah mereka berelasi dengan cara yang dirangkum olen Martin Buber dalam ungkapan I and Thou (Aku dan Engkau Saudaraku). Manusia merupakan makhluk yang merupakan ciptaan tertinggi Tuhan.
3. Individu-individu memiliki kebutuhan-kebutuhan. Setiap insan punya kebutuhan tertentu yang melekat pada dirinya. Ada banyak pendapat yang merangkum katalog kebutuhan (motif, dorongan) itu. Daftar tersebut mungkin merangkum kebanyakan kebutuhan dasar: udara, minuman dan makanan, kebersihan, persekutuan antar insan dan komunikasi, cinta kasih dan seksual. Hal-hal itu tidak bersifat opsional, karena diperlukan untuk survivalitas dan kesejahteraan hidup wajar. Hal-hal yang opsional adalah cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu. Maslow memeringkatkan berbagai kebutuhan dalam suatu hierarki. Pada tataran paling dasar ada kebutuhan untuk survivalitas, mencakup udara, air, makanan, kebutuhan fisiologis, seks, komunikasi dan istirahat. Pada tataran di atasnya ada kebutuhan akan keamanan, mencakup kebutuhan-kebutuhan yang lahir dari keinginan menepis rasa takut, kebutuhan keamanan fisis, kebutuhan untuk menjaga diri dan kebutuhan ekonomis. Pada tataram berikutnya terdapat kebutuhan sosial, mencakup kebutuhan akan kepemilikan, kebutuhan pada perspektif individu, kelompok, korporasi. Pada tataran berikut terdapat kebutuhan akan harga diri, mencakup pengakuan, penghayatan diri sebagai kemandirian, kebutuhan akan status di tengah masyarakat dan kebutuhan akan orang-orang lain. Pada puncaknya terdapat kebutuhan untuk beraktualisasi diri.
4. Individu-individu mempunyai tujuan-tujuan. Manusia tidak bisa dimengerti secara psikologis lepas dari tujuan-tujuan individualnya, karena proses mental dan aktivitas fisis yang selalu dihasilkannya selalu berorientasi ke tujuan yang bagi si manusia terasa menawarkan berbagai janji bernilai.
5. Individu-individu saling berelasi. Relasi mencerminkan kebutuhan akan interaksi yang memungkinkan individu merealisasikan kepribadiannya. Seperti dikatakan Paul Johnson, sangat sulit dibayangkan bagaimana kepribadian manusia akan berkembang di tengah isolasi diri dari orang-orang lain.
6. Individu memiliki kemerdekaan. Setiap insan punya hak inheren untuk membuat keputusan dan melangsungkan suatu kehidupan pribadi. Individu memiliki potensi untuk memilih secara arif dan menjalani kehidupan yang diarahkan oleh dirinya sendiri, dipenuhi oleh dirinya sendiri dan ditransendensi oleh dirinya sendiri. Bahkan manusia punya hak untuk melakukan kesalahan, kendati hak itu bisa dikontrol oleh institusi sosial, seperti pemerintah.
7. Individu mempunyai tanggung jawab. Setiap insan bertanggung jawab atas pilihan pribadi yang telah dibuatnya. Manusia bertanggung jawab atas kehidupannya dan bertanggung jawab terhadap Tuhan serta orang-orang lain atas setiap keputusan yang dibuatnya. Maka sesungguhnya manusia bertanggung jawab untuk berpartisipasi dalam relasi dengan Tuhan dan orang lain, serta bertanggung jawab untuk memelihara relasi itu.
8. Individu bertumbuh kembang karena cinta kasih (kasih sayang). Selama berabad-abad, cinta kasih (kasih sayang) selalu menjadi tema warta para nabi, para guru dan para penyair di tengah dunia. Kini para saintis perilaku meyakini betapa kehidupan tanpa cinta kasih (kasih sayang) adalah cacat fatal. Anak yang tak diinginkan, kenakalan remaja, neurosis pada orang dewasa dan problem insan lanjut usia, semuanya merepresentasikan keputusasaan karena kondisi miskin cinta kasih (kasih sayang).
9. Individu mempunyai jalan menuju relasi ilahi. Seiring dengan kian diraihnya pemahaman tentang relasi antar insan, manusia pun makin mungkin menyadari adanya potensi untuk menumbuhkembangkan relasi personal dengan Tuhan. Rasa bersalah atau rasa berdosa bisa memotivasi manusia mencari relasi seperti itu, karena pengampunan Tuhan yang selalu terangkum di dalamnya.
Pemahaman kesembilan butir landasan filosofis individu manusia tersebut di atas akan membawa kita pada penyadaran terhadap potensi dan kekuatan yang kita miliki untu bertumbuh kembang. Ia merupakan modal pendukung yang amat positif dalam proses pembentukan diri oleh diri sendiri.
======
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang.
Sunday, April 30, 2006
Friday, April 28, 2006
MENYADARI KECEMASAN DALAM HIDUP
MENYADARI KECEMASAN DALAM HIDUP
Kecemasan tidak mungkin tidak ada dalam diri kita. Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Sebenarnya apakah kecemasan itu?
Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 2001) diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol.
Dalam konseling dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah kecemasa alamiah (natural anxiety), kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety)), dan
kecemasan luhur (sacred anxiety).
Kecemasan Alamiah (natural anxiety)
Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan. Di sinilah diri kita menghasilkan respon terhadap bahaya atau ancaman riil. Namun kecemasan alamiah tersebut merupakan hal yang wajar dan bisa diterima akal budi.
Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)
Kecemasan mmelumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.
Kecemasan Luhur (sacred anxiety)
Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.
Pertanyaannya krusialnya adalah apakah kecemasan alamiah harus diterima dan dihadapi atau justru dihindari?
Sebagai manusia rasional kita seyogiyanya menerima dan menghadapinya seturut kemampuan manusiawi dan disertai permohonan bantuan rahmat Allah (orang beragama).
Jika kecemasan-kecemasan ini dihindari atau diabaikan, maka mereka bisa menjadi kekuatan destruktif yang melumpuhkan seluruh proses pembentukan diri kita.
Yang penting kemauan kita untuk bertumbuh kembang secara utuh kita mesti membangun relasi yang baik dulu dengan diri kita sendiri, orang lain dan dunia kehidupan itu. Hal inilah amat membutuhkan komitmen, tanggung jawab dan disiplin yang tinggi.
(Sumber: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, Sinar Harapan: 1996; Kamus Konseling Drs Sudarsono, 2001; dan bahan-bahan kuliah dosen Limas Sutanto di STFT Widya Sasana Malang)
Kecemasan tidak mungkin tidak ada dalam diri kita. Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Sebenarnya apakah kecemasan itu?
Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 2001) diartikan sebagai kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), kecemasan (anxiety) didefinisikan sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan rasa takut yang menonjol.
Dalam konseling dikenal 3 (tiga) jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu adalah kecemasa alamiah (natural anxiety), kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety)), dan
kecemasan luhur (sacred anxiety).
Kecemasan Alamiah (natural anxiety)
Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik, relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia kehidupan. Di sinilah diri kita menghasilkan respon terhadap bahaya atau ancaman riil. Namun kecemasan alamiah tersebut merupakan hal yang wajar dan bisa diterima akal budi.
Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)
Kecemasan mmelumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur, non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan toksik.
Kecemasan Luhur (sacred anxiety)
Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam kehidupan.
Pertanyaannya krusialnya adalah apakah kecemasan alamiah harus diterima dan dihadapi atau justru dihindari?
Sebagai manusia rasional kita seyogiyanya menerima dan menghadapinya seturut kemampuan manusiawi dan disertai permohonan bantuan rahmat Allah (orang beragama).
Jika kecemasan-kecemasan ini dihindari atau diabaikan, maka mereka bisa menjadi kekuatan destruktif yang melumpuhkan seluruh proses pembentukan diri kita.
Yang penting kemauan kita untuk bertumbuh kembang secara utuh kita mesti membangun relasi yang baik dulu dengan diri kita sendiri, orang lain dan dunia kehidupan itu. Hal inilah amat membutuhkan komitmen, tanggung jawab dan disiplin yang tinggi.
(Sumber: Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain, Sinar Harapan: 1996; Kamus Konseling Drs Sudarsono, 2001; dan bahan-bahan kuliah dosen Limas Sutanto di STFT Widya Sasana Malang)
Thursday, April 27, 2006
MENGEMBANGKAN EMOSI DASAR POSITIF
Emosi adalah gerakan atau ungkapan perasan yang keluar dari dalam diri seseorang. Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), semosi digambarkan sebagai suatu keadaan yang komplek dari organisme perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditandai oleh perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk perilaku tertentu, erat kaitannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi dan pernafasan.
Dari pengertian tersebut, emosi merupakan sebuah reaksi kita ketika berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup kita. Reaksi tersebut disadari atau tidak mempunyai efek entah bersifat membangun entah merusak.
Bisa dikatakan bahwa emosi sebenarnya bukan cuma sebagai reaksi terhadap keadaan pada diri maupun luar diri kita, tetapi juga merupakan upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).
Secara umum emosi dikategorikan menjadi dua jenis yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif.
Emosi dasar positif adalah perasaan berupa sukacita (joy), yakin/ percaya (trust/ faith), pengharapan (hope), syukur (praise), berbela rasa (compassion), mau mengerti dan menerima (willingness to understand and to accept). Emosi dasar positif ini sering disebut sebagai kekuatan biofilik, (cinta kehidupan, pro vita).
Sedangkan emosi dasar negatif adalah perasaan berupa dengki, dendam, iri, kejam, menolak dan tak mau mengerti. Emosi jenis ini merupakan kekuatan nekrofilik karena dapat menjadi kekuatan yang bersifat merugikan dan mematikan.
Individu yang mau bertumbuh kembang dan bertransformasi diri seyogiyanya mengembangkan emosi dasar positif dan melawan emosi dasar negatif. Pengembangan perasaan sukacita, yakin/ percaya, pengharapan, syukur, berbela rasa dan mau mengerti serta menerima, harus mempunyai dasar dan sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini. Artinya emosi dasar positif harus dikembangkan secara riil, sadar, responsif dan rasional.
Agar kita dapat bertumbuh kembang menuju pribadi utuh, kita seyogiyanya memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam menyadari dan menumbuhkan emosi dasar positif ini. Dengan demikian, perbaikan kecil yang terus menerus dapat berlangsung karena didukung oleh emosi dasar positif yang pro kehidupan.
==============
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang.
Emosi adalah gerakan atau ungkapan perasan yang keluar dari dalam diri seseorang. Dalam Kamus Konseling (Drs. Sudarsono, SH, 1996), semosi digambarkan sebagai suatu keadaan yang komplek dari organisme perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas, biasanya ditandai oleh perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk perilaku tertentu, erat kaitannya dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi dan pernafasan.
Dari pengertian tersebut, emosi merupakan sebuah reaksi kita ketika berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup kita. Reaksi tersebut disadari atau tidak mempunyai efek entah bersifat membangun entah merusak.
Bisa dikatakan bahwa emosi sebenarnya bukan cuma sebagai reaksi terhadap keadaan pada diri maupun luar diri kita, tetapi juga merupakan upaya pencapaian ke arah pembentukan diri menuju hidup yang transendental (spiritual).
Secara umum emosi dikategorikan menjadi dua jenis yaitu emosi dasar positif dan emosi dasar negatif.
Emosi dasar positif adalah perasaan berupa sukacita (joy), yakin/ percaya (trust/ faith), pengharapan (hope), syukur (praise), berbela rasa (compassion), mau mengerti dan menerima (willingness to understand and to accept). Emosi dasar positif ini sering disebut sebagai kekuatan biofilik, (cinta kehidupan, pro vita).
Sedangkan emosi dasar negatif adalah perasaan berupa dengki, dendam, iri, kejam, menolak dan tak mau mengerti. Emosi jenis ini merupakan kekuatan nekrofilik karena dapat menjadi kekuatan yang bersifat merugikan dan mematikan.
Individu yang mau bertumbuh kembang dan bertransformasi diri seyogiyanya mengembangkan emosi dasar positif dan melawan emosi dasar negatif. Pengembangan perasaan sukacita, yakin/ percaya, pengharapan, syukur, berbela rasa dan mau mengerti serta menerima, harus mempunyai dasar dan sungguh-sungguh sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang kita yakini. Artinya emosi dasar positif harus dikembangkan secara riil, sadar, responsif dan rasional.
Agar kita dapat bertumbuh kembang menuju pribadi utuh, kita seyogiyanya memiliki komitmen dan tanggung jawab dalam menyadari dan menumbuhkan emosi dasar positif ini. Dengan demikian, perbaikan kecil yang terus menerus dapat berlangsung karena didukung oleh emosi dasar positif yang pro kehidupan.
==============
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang.
Wednesday, April 26, 2006
"CONTINUAL IMPROVEMENT"
"CONTINUAL IMPROVEMENT"
Pembentukan diri adalah proses tumbuh kembang diri dalam segala bidang berdasarkan interaksi dan relasi kita dengan diri kita, orang lain dan dunia sekitar kita. Interaksi dan relasi kita entah dalam bentuk sekecil apa pun akan turut ambil bagian dalam peroses itu.
Proses tumbuh kembang merupakan upaya yang dapat kita lakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Untuk itulah, sekecil apapun bentuk pengalaman atau peristiwa hidup dan dunia sekitar kita turut berinteraksi dan berbicara kepada diri kita. Everything speaks to us, segala sesuatu berbicara kepada kita, namun apakah kita mendengar dan menanggapinya.
Jalan terbaik pada pembentukan diri kita sendiri dan oleh kita sendiri adalah melalui perbaikan kecil secara terus menerus. It seems insignificantly, but it must be continual and neverending. Kelihatannya kecil dan remeh, tetapi ia harus terus menerus dan tidak pernah berakhir.
Menjadi penting bagi setiap orang agar menyiapkan mentalnya dengan disposisi batin perlunya perbaikan kecil secara terus menerus. Setiap orang hendaknya terarah kepada perbaikan-perbaikan kecil dalam diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar. Dengan demikian proses tumbuh kembang sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Dengan kata lain kehidupan itu sendiri akan menjadi lebih baik. The longer and the old we are will be wiser according to values we live. Semakin lama dan tua kita semakin bijaksana sesuai dengan nilai-nilai universal yang kita yakini.
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, dosen, Limas Sutanto, ketika saya masih kuliah di STFT Widya Sasana Malang.
Pembentukan diri adalah proses tumbuh kembang diri dalam segala bidang berdasarkan interaksi dan relasi kita dengan diri kita, orang lain dan dunia sekitar kita. Interaksi dan relasi kita entah dalam bentuk sekecil apa pun akan turut ambil bagian dalam peroses itu.
Proses tumbuh kembang merupakan upaya yang dapat kita lakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Untuk itulah, sekecil apapun bentuk pengalaman atau peristiwa hidup dan dunia sekitar kita turut berinteraksi dan berbicara kepada diri kita. Everything speaks to us, segala sesuatu berbicara kepada kita, namun apakah kita mendengar dan menanggapinya.
Jalan terbaik pada pembentukan diri kita sendiri dan oleh kita sendiri adalah melalui perbaikan kecil secara terus menerus. It seems insignificantly, but it must be continual and neverending. Kelihatannya kecil dan remeh, tetapi ia harus terus menerus dan tidak pernah berakhir.
Menjadi penting bagi setiap orang agar menyiapkan mentalnya dengan disposisi batin perlunya perbaikan kecil secara terus menerus. Setiap orang hendaknya terarah kepada perbaikan-perbaikan kecil dalam diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar. Dengan demikian proses tumbuh kembang sedikit demi sedikit akan menjadi bukit. Dengan kata lain kehidupan itu sendiri akan menjadi lebih baik. The longer and the old we are will be wiser according to values we live. Semakin lama dan tua kita semakin bijaksana sesuai dengan nilai-nilai universal yang kita yakini.
Sumber: bahan-bahan kuliah Konseling, dosen, Limas Sutanto, ketika saya masih kuliah di STFT Widya Sasana Malang.
Monday, April 24, 2006
MANUSIA DAN RELASI
MANUSIA DAN RELASI
Manusia menuai problem karena relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Pemecahan masalah manusia pula sesungguhnya berintikan pada perubahan menuju perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia.
Dalam pendidikan, sesungguhnya bila dikatakan pembelajaran berbasis kompetensi berarti berpusat pada cura personalis. Cura personalis adalah perhatian pada manusia sebagai pribadi. Itu berarti ia berkaitan dengan relasi.
Pada hakekatnya relasi antar manusia seyogiyanya bukan relasi subyek-obyek, atau mengobyekkan manusia yang lain, tetapi relasi dimana antar manusia secara bersama-sama bertumbuhkembang (relasi subyek-subyek).
Dalam bertumbuhkembang kita membangun dulu relasi dengan diri sendiri. Memang tahu bahwa relasi merupakan inti pertumbuhkembangan, tapi belum tentu gampang melaksanakannya. Memang orang dapat menuai masalah karena relasi tetapi dapat pula sembuh karena relasi.
Maka hal yang penting dalam membentuk atau menumbuhkembangkan diri adalah perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar.*
(Sumber: dari bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang)
Manusia menuai problem karena relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya. Pemecahan masalah manusia pula sesungguhnya berintikan pada perubahan menuju perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia.
Dalam pendidikan, sesungguhnya bila dikatakan pembelajaran berbasis kompetensi berarti berpusat pada cura personalis. Cura personalis adalah perhatian pada manusia sebagai pribadi. Itu berarti ia berkaitan dengan relasi.
Pada hakekatnya relasi antar manusia seyogiyanya bukan relasi subyek-obyek, atau mengobyekkan manusia yang lain, tetapi relasi dimana antar manusia secara bersama-sama bertumbuhkembang (relasi subyek-subyek).
Dalam bertumbuhkembang kita membangun dulu relasi dengan diri sendiri. Memang tahu bahwa relasi merupakan inti pertumbuhkembangan, tapi belum tentu gampang melaksanakannya. Memang orang dapat menuai masalah karena relasi tetapi dapat pula sembuh karena relasi.
Maka hal yang penting dalam membentuk atau menumbuhkembangkan diri adalah perbaikan relasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar.*
(Sumber: dari bahan kuliah Konseling, Limas Sutanto, dosen STFT Widya Sasana Malang)
MEMBENTUK DIRI (SELF FORMATION)
MEMBENTUK DIRI (SELF FORMATION)
Pengantar
Globalisasi bukan tidak mungkin dapat menghilangkan identitas pribadi, komunitas atau bahkan bangsa dan negara dalam tataran yang lebih luas. Untuk itu sebuah landasan filosofis dan teologis tentang tumbuh kembang pribadi manusia dibutuhkan. Landasan filsosofis dan teologis dapat memberikan berbagai pandangan yang lebih kompleks dan dalam perkembangan globalisasi sekarang ini. Meskipun kompleks pasti ada prinsip-prinsip yang harus dipegang seperti yang termaktub dalam karya tulis ini.
Demikian pula, berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari, perjalanan hidup kita berawal dari satu titik (kelahiran) menuju ke titik akhir (kematian). Selama perjalanan hidup, kita tidak menyadari bahwa semua pengalaman dan peristiwa hidup yang kita alami merupakan unsur-unsur yang membangun atau merusak pembentukan diri kita (self formation).
Persoalannya adalah tidak semua orang menyadarinya. Kadangkala semua peristiwa atau pengalaman hidup kita disadari atau tidak biasanya berlalu begitu saja. Dalam tulisan “pembentukan diri” (SELF FORMATION) ini, saya coba menggagas ide pembentukan diri secara holistik yang dapat dipraktekkan oleh setiap orang secara sendiri dan mandiri
Selamat membaca dan menikmati.
Pengantar
Globalisasi bukan tidak mungkin dapat menghilangkan identitas pribadi, komunitas atau bahkan bangsa dan negara dalam tataran yang lebih luas. Untuk itu sebuah landasan filosofis dan teologis tentang tumbuh kembang pribadi manusia dibutuhkan. Landasan filsosofis dan teologis dapat memberikan berbagai pandangan yang lebih kompleks dan dalam perkembangan globalisasi sekarang ini. Meskipun kompleks pasti ada prinsip-prinsip yang harus dipegang seperti yang termaktub dalam karya tulis ini.
Demikian pula, berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari, perjalanan hidup kita berawal dari satu titik (kelahiran) menuju ke titik akhir (kematian). Selama perjalanan hidup, kita tidak menyadari bahwa semua pengalaman dan peristiwa hidup yang kita alami merupakan unsur-unsur yang membangun atau merusak pembentukan diri kita (self formation).
Persoalannya adalah tidak semua orang menyadarinya. Kadangkala semua peristiwa atau pengalaman hidup kita disadari atau tidak biasanya berlalu begitu saja. Dalam tulisan “pembentukan diri” (SELF FORMATION) ini, saya coba menggagas ide pembentukan diri secara holistik yang dapat dipraktekkan oleh setiap orang secara sendiri dan mandiri
Selamat membaca dan menikmati.
Subscribe to:
Posts (Atom)