Pemimpin yang “Melayani”
Semakin banyak saya membaca literature atau konsep mengenai kepemimpinan, semakin saya merasa tidak mungkin menjadi seorang pemimpin yang baik. Bayangkan, menurut berbagai ahli kepemimpinan, seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kharismatik, inspirational, transformational, innovative, motivational, memiliki kesadaran global, dan masih banyak lagi istilah-istilah canggih yang semakin menunjukkan betapa predikat “pemimpin” menjadi sangat ekslusif. Jika untuk menjadi pemimpin harus memiliki kualifikasiyang secanggih itu, lalu berapa banyak orang yang mampu menjadi pemimpin di masa mendatang?
Saya teringat pengalaman pada saat menyelesaikan program pasca-sarjana. Saat itu saya melakukan penelitian guna mencari jawaban atas pertanyaan apakah saya dapat memprediksi gaya kepemimpinan seseorang bedasarkan personal value-nya? Suatu pertanyaan yang sederhana, namun memiliki jawaban yang membuat saya sering sakit kepala karena saya harus membaca dan memahami berbagai gaya kepemimpinan dari berbagai literatur yang semuanya berakhir pada suatu kesimpulan: konsep kepemimpinan umumnya rumit, sulit dipahami maupun diterapkan. Saya rasa bukan hanya seorang yang merasa demikian. Buktinya? Salah seorang rekan di sebuah perusahaan besar sedang mencari lulusan terbaik dari universitas-universitas di Indonesia untuk didik menjadi manajer atau pemimpin masa depan. Ketika saya tanya, “Kriteria manajer masa depan itu seperti apa?”, ternyata ia sendiri juga bingung. Ia mencoba mengungkapkan istilah-istilah canggih seperti diungkapkan sebelumnya, tanpa mampu memberikan contoh tingkah laku konkret dari manajer masa depan khayalannya.
Saya jadi bertanya-tanya, adakah konsep kepemimpinan yang sederhana, tidak sulit untuk diterapkan, namun memiliki dampak langsung yang terlihat terhadap kinerja anak buah maupun tim kerja? Menurut saya, seorang pemimpin atau manajer yang baik adalah pemimpin yang bersedia “melayani”, artinya bersedia bekerja bagi tim dan sekaligus memimpin tim tersebut. Tentu saja kita tetap harus mempertimbangkan aspek keseimbangan dalam pelayanan. Artinya, pelayanan dari manajer tidak boleh berlebihan sehingga tugas manajer lebih mirip denan tugas office boy. Bagaimanapun, peran manajer sebagai pemimpin tim tetap harus menonjol.
Lalu, agar seorang manajer dapat menjadi pemimpin yang “melayani”, karakter seperti apa yang harus ia miliki? Hal yang paling utama, tentunya manajer tersebut harus menyukai manusia sehingga ia mampu memahami hubungan antar-manusia dengan lebih baik. Dengan demikian, ia akan melihat konsep ini sebagai manifestasi dari rasa cintanya terhadap hubungan antar-manusia, bukan lagi sebagai tuntutan peran semata. Dengan bahasa sederhana, ia mampu melayani anak buah karena ia memang mau dan senang melakukannya.
Bentuk pelayanan yang dapat diberikan oleh seorang manajer kepada anak buahnya dapat bervariasi, dari aktivitas sehari-hari hingga keputusan manajemen yang lebih kompleks. Misalnya ia akan berusaha meluangkan waktu saat anak buahnya sedang membutuhkan saran dan masukan. Atau, setiap kali seorang manajer memberikan tugas kepada anak buahnya, ia tidak lupa menanyakan kegiatan anak buah saat akhir pekan karena ia tidak hanya tertarik dengan masalah pekerjaan tetapi juga kehidupan sosial anak buah (yang sering diartikan oleh sebagian orang sebagai basa-basi yang tidak perlu). Contoh lain, misalnya ketika anak buah tidak berhasil melaksanakan tugas sesuai harapan anda sebagai manajer, maka anda akan berusaha membesarkan hatinya dan menunjukkan cara yang lebih efektif untuk menyelesaikan tugas serupa di masa mendatang.
Selain itu, ada pula bentuk pelayanan dari seorang manajer terhadap anak buahnya dalam bentuk yang lebih luas dan menyangkut kebijaksanaan perusahaan secara keseluruhan. Misalnya, yang diusulkan oleh Tony Barnes berdasarkan teori Kaizen mengenai kepemimpinan (1998:hal.85). Ia menyatakan bahwa pada dasarnya seorang manajer dapat memberikan bantuan dalam 5 bentuk sebagai berikut:
Kalau seorang karyawan tidak tahu apa yang harus dikerjakan ...beri ia penjelasan.
Kalau seorang karyawan tidak tahu bagaimana cara mengerjakannya ... beri ia pelatihan.
Kalau seorang karyawan tidak ingin mengerjakannya ....beri ia motivasi.
kalau seorang karyawan tahu apa yang harus dikerjakan, berkompetensi, dan memiliki motivasi untuk mengerjakannya ... beri aia kesempatan.
Kalau seorang karyawan sudah mengerjakannya dan memenuhi standar (bahkan melebihi) ... beri ia penghargaan.
(Mira Trispuspita/EXPERD/Kompas/11/11/2001)
No comments:
Post a Comment