Monday, December 01, 2008

BERPIKIR KRITIS


BERPIKIR KRITIS

Dengan maraknya milis dan forum diskusi yang berkomentar mengenai berbagai gejala, ada satu hal yang semakin berkembang yaitu sikap kritis individu. Ini tentu ada hubungannya dengan pendidikan dan sistem informasi yang semakin mudah diakses, sehingga siapa saja asal mau, bisa mempertanyakan situasi, keputusan dan segala macam pernyataan dan fenomena yang ada. Bukan saja pertanyaan, ungkapan perasaan, ketidaksesuaian pendapat, bahkan juga tuntutan juga terdengar, terbaca dan terlihat.

Simak saja wacana mengenai Arus Minyak Nasional, yang melibatkan protes mahasiswa, DPR, partai, badan eksekutif dan masyarakat banyak. Pertanda apakah ini? Selain demokrasi, kita bisa beranggapan bahwa generasi muda, yang akan menghadapi abad selanjutnya, sudah mempunyai daya pikir yang lebih “advanced” . “Good thinking is an important element of life success in the information age” , demikian ujar Thomas & Smoot (1994).

Kita pasti setuju bahwa kegiatan berpikir adalah kegiatan yang super mulia dan merupakan anugerah Tuhan yang paling besar bagi manusia, karena tidak ada makhluk lain di dunia ini yang bisa berpikir dengan cara secanggih manusia. Dengan adanya kegiatan berpikirlah manusia mampu menggambarkan isi dunia ini. Dan, dengan adanya pemikiran-pemikiran yang sudah diuji, dibolak-balik dan dikulik di masyarakat, kita bisa yakin bahwa bangsa kita sudah mengalami kemajuan dalam proses berpikirnya.

Sikap Mental untu Berbeda Pendapat

Aturan dan tatakrama yang diajarkan orang tua dan guru kita dulu, misalnya untuk tidak membantah, tidak berdebat untuk menjunjung harmoni, kita sadari tidak selamanya menyuburkan cara berpikir. Kita sering lupa bahwa kita punya kewajiban untuk mengasah cara pikir kita, baik di sekolah maupun setelah keluar dari sistem pendidikan. Dalam perjalanan hidup, saya menyaksikan bahwa kesempatan untuk menumbuhkan dan mematangkan keputusan dan konsep justru dari di-“adu”-nya pendapat kita dengan kritik, pertanyaan, keraguan orang lain, bahkan setelah perdebatan sengit. Yang paling penting, sikap mental juga perlu kita siapkan untuk memberi dan menerima kritik dan sanggahan.

Para ahli menyarankan agar berfokus pada isu dan bukan pada orangnya, sebagai landasan sikap rasional yang perlu dikembangkan dalam “menembak” masalah, “menelurkan” solusi, dan bukan mengumbar emosi serta kesalahan. Di sini, kita pun bisa mawas diri bahwa kita sering terjebak berselisih pendapat, karena kita tidak “sealiran” atau tidak menyukai individu yang berpendapat.

Saat sekarang, kita juga semakin sadar bahwa sekedar “asbun” (asal bunyi, asal ngomong), tanpa berlatih bertanggung jawab terhadap tindak lanjut pendapatnya, malahan bisa menjatuhkan harga diri dan kewibawaan kita sendiri. Namun demikian, memang masih banyak kita temui orang yang berpendapat tetapi tidak bertanggung jawab, misalnya, seorang sales manager yang mengatakan, “Di perusahaan ini, sistem administrasi kacau. Masakan tanda terima barang bisa ditandatangani oleh seorang salesman tanpa diketahui oleh penerima barangnya”. Pernyataan yang dilemparkan tanpa memikirkan follow up, sekedar menyulitkan orang lain dan tanpa disertai tanggung jawab untuk mencari solusi bukanlah pembuka diskusi yang sehat. Individu yang ingin masuk ke dalam kancah perdebatan intelektual, perlu mencermati gejala, tulisan, tindakan atau keputusan dengan hati-hati. “dalam” dan berusaha mendapatkan “point” dari isu tersebut. Seruan misalnya “turunkan harga BBM”, “turunkan harga sembako” akan lebih intelek bila yang berseru sudah mempelajari, apakah gejala kenaikan BBM ini melulu disebabkan oleh korupsi atau gejala mendunia. Kita pun perlu membedakan fakta dari pendapat, kasus dari gejala umum, membersihkan “bias” selain juga tidak berpikir “hitam putih” saja, dan membuka diri terhadap segala kemungkinan yang kita sebelumnya kita tidak tahu.

Pemikir Sehat

Individu, tidak terlepas berapa usianya, sering tidak menyadari kesalahan berpikirnya. Ada yang dari muda sampai tua tetap keras kepala. Ada juga yang tidak pernah sadar bahwa ia “sok tahu”, meyakini sesuatu tanpa pernah meng”update ataupun mengecek kebenarannya lebih lanjut. Banyak juga orang berasumsi bahwa kekuatan berpikir berkorelasi besar dengan IQ, tingkat kecerdasan. Bila ada orang pintar berpendapat, orang cenderung meng-iya-kan, dan setuju. Fenomena “tunduk pada yang cerdas” ini sering menumbuhkan sikap submisif dalam kegiatan mengasah cara pikir kita.

Sebenarnya cara berpikir bisa dikembangkan dengan cara yang sangat simpel: memelihara kegiatan mempertanyakan, beranggapan bahwa setiap kebenaran itu sementara, dan bersikap “undogmatic”. Kegiatan ini sudah bisa kita amati di acara-acara debad di televisi maupun radio. Hanya saja, kalau benar-benar ingin sehat kitapun perlu menyadari bahwa otak hanya bisa menyerap sedikit informasi yang tersedia, mengenai suatu isu. Dengan keterbatasannya, otak sering melakukan “oversimplication” yang berakibat pada penyaringan fakta, asumsi maupun keyakinan individu. Berarti bila kita ingin diterima sebagai pemikir obyektif, kita pun perlu siap membuka pikiran seperti layaknya seorang anak sekolah, menyerap informasi sebanyak-banyaknya, baru kemudian memilah dan menyaring sehingga presisi, akurasi, relevansi, logika dan kedalaman bisa tercapai secara optimal.

Mendorong Pencerdasan Bangsa

Saat sekarang, dimana semakin marak sekolah nasional plus, universitas swasta yang harganya bahkan bersaing dengan universitas negeri, gratisnya biaya sekolah, sangat menjanjikan tercapainya pencerdasan bangsa. Sudah waktunya kita bisa berharap untuk berada di kancah berpikir obyektif, “terang” dan positif. Meskipun kebenaran tidak disajikan begitu saja, tetap perlu dikorek-korek, dipikirkan, diendapkan dan dicocokkan, namun kita sudah boleh berharap berdiskusi dalam tingkatan yang sama, tidak meraba dalam gelap, penuh kerendahan hati tetapi tetap siap memodifikasi alam pikir kita. Dengan cara inilah kita maju dan jadi pintar, sambil tetap perlu mempunyai ‘ruang’ untuk berpikir inovatif dan kreatif. (Eileen Rachman & Sylvina Savitri – EXPERD, Karier Kompas 05 Juli 2008).

No comments:

Related Posts with Thumbnails