KARIR
Pada sebuah workshop dalam sebuah perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: “Atasan adalah penentu karir”, serta merta melihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah’. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap “kumaha juragan wae”.
Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan dan penilaian datang dari ‘atas’, memang ada dan masih kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan perkembangan praktek yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar, kerja global, banyak kita lihat pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti “karir itu berbentuk tangga atau piramid”, sudah berganti dengan paradigma baru seperti “jeruk makan jeruk”, “wolak walik ing jaman”; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya suatu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.
Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsenterasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetensi untuk meraih excelence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excelence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya keterampilan-keterampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahaan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ‘karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.
“Career Self-Management” VS “Career Track” Perusahaan
Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan “kurang awas” terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: “Saya kehilangan buku catatan kinerja saya”. Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100% terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokkannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.
Kelalaian ini bukan saja terjadi tingkat bawah. Teman saya seorang direktur, yang selama 20 tahun “all out” bekerja di perusahaannya, bingung menentukan karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah-salah siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan di pensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perubahan.
“Portfolio Management”: Tambang Emas Individu
Setiap profesional, apapun keahliannya, perlu me-“maintain”, mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu “dilamar” saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak boleh lengah dalam meng-“update” ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan “moving up” saja, tetapi perlu melihat ke “dalam”, selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.
No comments:
Post a Comment